Sore itu aku sedang duduk santai di beranda perjal (perpustakaan
jalanan) milikku. Perjal adalah impianku sejak aku kuliah di IAIN dulu.
Sekarang aku memandang puas pada usahaku selama ini. Aku bisa mendirikan
perpustakaan jalanan di kota kelahiranku. Majalengka.
Perjal ini cukup
luas, beberapa rak besar tempat buku-buku berjejer rapi dengan koleksi-koleksi
buku yang dikelompokkan menurut ruang lingkupnya dan disusun secara alfabetis.
Pandanganku tertuju pada rak buku di pojok ruangan yang berisi buku-buku tipis
milikku. Ya, itulah catatan harianku ketika aku kuliah dan ayah dan ibuku masih
hidup. Ku ambil buku kucel tersebut yang disampulnya tertulis “Catatan
Harian Seorang Pejuang!”
Setelah ku
pandangi, aku tersenyum dan membuka kembali lembaran-lembaran hidupku di masa
lampau. Aku terpana dan terhenti di bab “Nasihat dari Mimi (Ibu)”. Di
sana aku menulis sebuah cerita yang begitu memotivasi hidupku yang terlontar
dari Mimiku.
“Cu, nanti setelah Mimi tidak bisa lagi menemani ucu. Mimi harap ucu
senantiasa mengingat cerita ini, lantas merenungi dalam-dalam hikmah yang
terkandung di dalamnya.
Alkisah di suatu pulau kecil, tinggallah berbagai macam benda-benda
abstrak: ada Cinta, Kesedihan, Kekayaan, Kegembiraan dan sebagainya.
Mereka hidup berdampingan dengan baik. Namun suatu ketika, datang badai
menghempas pulau kecil itu dan air laut tiba-tiba naik dan akan menenggelamkan
pulau itu. Semua penghuni pulau cepat-cepat berusaha
menyelamatkan diri.
Cinta sangat kebingungan karena ia tidak dapat berenang dan
tak mempunyai perahu. Ia berdiri di tepi pantai dan mencoba mencari
pertolongan. Sementara itu air makin naik membasahi kaki Cinta. Tak lama
Cinta melihat Kekayaan sedang mengayuh perahu.
”Kekayaan! Kekayaan! Tolong aku!” teriak Cinta.
”Aduh! Maaf, Cinta!” kata Kekayaan.
“Perahuku telah penuh dengan harta bendaku. Aku tak dapat membawamu,
nanti perahu ini tenggelam. Lagi pula tak ada tempat lagi bagimu di perahuku
ini”.
Lalu Kekayaan cepat-cepat mengayuh perahunya pergi. Cinta sedih sekali,
namun dilihatnya Kegembiraan lewat dengan perahunya.
“Kegembiraan! Tolong aku!”, teriak Cinta.
Namun kegembiraan terlalu gembira karena ia menemukan perahu sehingga ia
tak mendengar teriakan Cinta.
Air makin tinggi membasahi Cinta
sampai ke pinggang dan Cinta semakin panik. Tak lama
lewatlah Kecantikan.
“Kecantikan! Bawalah aku bersamamu!”, teriak Cinta
“Wah, Cinta, kamu basah dan kotor. Aku tak bisa membawamu ikut. Nanti
kamu mengotori perahuku yang indah ini”, sahut Kecantikan.
Cinta sedih sekali mendengarnya. Ia mulai menangis terisak-isak.
Saat itu lewatlah Kesedihan.
”Oh, Kesedihan. Bawalah aku bersamamu”, kata Cinta.
”Maaf Cinta. Aku sedang sedih dan
aku ingin sendirian saja...” kata Kesedihan sambil
terus mengayuh perahunya.
Cinta putus asa. Ia merasakan air
semakin naik dan akan menenggelamkannya. Pada saat kritis
itulah tiba-tiba terdengar suara.
”Cinta! Mari cepat naik ke perahuku!”
Cinta menoleh ke arah suara itu
dan melihat seorang tua dengan perahunya.
Cepat-cepat Cinta naik ke perahu itu,
tepat sebelum air menenggelamkannya.
Di pulau terdekat, orang tua itu menurunkan Cinta dan segera pergi lagi.
Pada saat itu barulah Cinta sadar bahwa ia sama sekali tidak mengetahui siapa
orang tua yang menyelamatkannya itu. Cinta segera menanyakannya kepada seorang
penduduk tua di pulau itu, siapa sebenarnya orang tua itu.
”Oh, orang tua tadi? Dia adalah Waktu” kata orang itu.
”Tapi mengapa ia menyelamatkanku? Aku tak mengenalnya. Bahkan
teman-teman yang mengenalku pun enggan menolongku” tanya Cinta heran.
”Sebab” kata orang itu. ”Hanya Waktulah yang tahu berapa nilai
sesungguhnya dari Cinta itu...” pungkasnya sangat bijak.
Tak tahu
kenapa, setelah membaca cerita itu, air mataku meleleh membasahi buku. Sontak
aku usap dengan jari jemariku yang kasar, sebelum air mataku merusak buku
kesayanganku. Ku kecup dan ku tutup buku itu secara perlahan lantas
mengembalikan ke tempat semula. Setelahnya, Aku memandang lagi secara
keseluruhan perpustakaan jalanan milikku, sebuah televisi 14 inci dan
sebuah netbook biru Acer berada di meja kasir, yang waktu
itu aku beli dari jerih payahku sendiri, menjual tempe goreng bersama Aif,
teman akrabku di masa kuliah. Hembusan angin cukup membuat udara terasa sejuk
di bulan september yang panas ini.
Kilau senja
begitu indah menyemburatkan fanorama surga. Sepoi-sepoi angin terus membelai
pundakku. Aku melirik ke arah jarum jam yang ada di tangan kiriku. Waktu
menujukkan pukul 17.00 WIB, lantas aku tutup perpustakaan jalananku. Karena
setelah maghrib, ada kultum dari ustadz hasan akhimullah perihal keagungan
cinta seorang ayah.
Seperti
biasanya aku pulang ke rumah naik becak yang berada di depan perjalku. Aku
sangat senang menaiki becak tersebut. Karena sang pilot becak, begitu ramah
padaku dan begitu hebat dalam berjuang mengayuh pedal becak, walau usianya
sudah senja namun semangatnya seperti kaula muda yang menggebu-gebu. Ah, aku
jadi teringat almarhum ayahku yang begitu totalitas dalam mencari nafkah. O ya,
nama pilot becak itu Saiful Taufik. Tapi aku sering memanggilnya mang ipul.
Dalam
perjalanan menuju rumahku, terjadi dialog interaktif antara aku dengan
mang ipul. Becak terus melaju, aku memberanikan diri mengawali percakapan.
“Mang, udah berapa lama sih, mang ipul menarik becak?” tanyaku penasaran.
“Yaaaa, hampir 10 tahunanlah” jawabnya santai.
“Apa?! 10 tahunan, serius mang?”
“Iya serius, malah dua rius. Hehe”
“Ah mang ipul ini bisa aja guyonnya. O ya, kenapa sih mang ipul lebih
memilih menarik becak, ketimbang yang lain. Misalkan maaf, jadi office boy,
cleaning service atau jadi apa kek yang kira-kira tidak memeras keringat?”
“Oh itu. jawabnya sederhana. Karena hidup saya tidak ingin diatur sama
orang dan diremehkan begitu saja. Karena saya berkiblat pada kisah pilu teman
saya yang hidupnya diatur –atur orang lantas direndahkan, bahkan dihinakan
begitu saja. Sebut saja namanya yuda. Yuda itu profesinya jadi Cleaning Service
di sebuah perusahaan ternama di kota ini. Tiga bulan yang lalu, harga dirinya
telah diinjak-injak sama bossnya. Bayangin coba, anak semata wayangnya harus
dipaksa nikah sama bossnya. Cuma gara-gara yuda lupa tidak mengepel dan
membersihkan ruangan bossnya. Alasannya sih, yuda telah lalai terhadap
tugasnya. Kalau yuda menolak, nanti yuda akan dipecat dan perkara itu akan
diusut ke pengadilan. Dengan pasal kelalaian dalam bekerja.
Telisik demi telisik, ternyata bossnya itu telah memendam cinta teramat
dalam terhadap anaknya. Karena anaknya tidak mau, maka dengan jalan itu, ia
akan berhasil mendapatkannya. Keterlaluan bangetkan? Maka dari itu, saya lebih
memilih jadi tukang becak, disamping halal, tentunya tidak tertekan sama
atasan. Semua pekerjaan apapun dan di manapun, pasti akan mengeluarkan keringat
mas. Mas sendiri yang kerjanya nunggu di perpustakaan jalanan, sekarang basah
kuyup sama keringat..”
“O iya, hehe” timpalku segera menyusut keringat
yang menetes dari pundak dan leherku.
“Mang ada cerita inspiratif lagi nggak buatku? Katanya kemarin mau bercerita perihalKekuatan
Api Cinta” tagihku pada mang ipul.
“Oh ada mas. Tapi mas bersedia lagi nggak mendengarkannya?”
“Tentunya bersedia dong!”
Dengan
memegang erat setir becaknya, handuk pengelap keringat dikalungkan ke lehernya,
lantas Ia penuhi permintaan dariku. Pelanggan setianya.
“Gini Mas. . Alkisah suatu ketika, Kapak,
Gergaji, Palu dan Nyala Api sedang
mengadakan perjalanan bersama-sama. Di suatu tempatperjalanan mereka terhenti
karena terdapat sepotong besi baja yang tergeletak menghalangi jalan.
Mereka berusaha menyingkirkan baja tersebut
dengan kekuatan yang mereka miliki masing-masing.
Aku hanya
mengangukkan kepala, tanda aku serius dalam menyimak setiap tutur katanya yang
terucap.
”Itu bisa aku singkirkan”, kata Kapak. Pukulan-pukulannya
keras sekali menghantam baja yang kuat
dan keras juga itu. Tapi tiap bacokan hanya membuat kapak itulebih tumpul
sendiri sampai ia berhenti.
”Sini, biar aku yang urus,” kata Gergaji. Dengan gigi-gigi yang tajam
tanpa perasaan, iapun mulai menggergaji. Tapi ia kaget dan kecewa, semua
giginya jadi tumpul dan rontok.
”Apa kubilang,” kata Palu
”Kan aku sudah ngomong, kalian tak bisa. Sini, siniaku tunjukkan
caranya”. Tapi baru sekali ia memukul, kepalanya terpental sendiri, dan baja
tetap tidak berubah.
“Boleh aku coba?” tanya Nyala Api. Dan iapun
melingkarkan diri, dengan lembut menggeluti,
memeluk dan mendekapnya erat-erat tanpa mau melepaskannya. Bajayang keras
itupun meleleh cair.
“Nah, apa coba mas hikmah yang bisa kita petik?” tanya mang ipul kemudian. Aku mengernyit lalu
menggeleng.
“Hikmah yang bisa kita petik dari cerita tadi yaitu. Ada banyak hati
yang cukup keras untuk melawan kemurkaan dan amukan kemarahan demi harga diri.
Tapi jarang ada hati yang tahan melawan nyala api cinta kasih yang hangat.
Betapa arif dan bijak ada dalam
sebuah kelembutan dan kehangatan, seperti api
yang mencairkan hati yang dingin. Ah,
tak ada yang tahan menampik nyala api cinta kasih.”
“Subhanallah. Mang ipul ini bak Mario teguh. Super sekali. Dahsyattt!” kagumku pada mang ipul.
10 menit
kemudian. Tak terasa becak yang aku tumpangi telah sampai ke tempat tujuan.
Lantas aku keluarkan uang merah bergambar pak soekarno dan ku berikan pada mang
ipul.
“Ini mang. Terimakasih atas motivasi dan ceritanya” ucapku menyodorkan uang
“lho kok 100 ribu mas?”
“Ini sebagai ucapan terimakasihku, karena setiap hari mang ipul selalu
memberikan motivasi dan cerita-cerita inspiratifnya padaku.”
“Tidak bisa seperti itu mas, ini bukan hak saya!” cegah mang ipul menolak.
“Ini rezeki mas, jangan ditolak. Aku ikhlas mas. Sumpah!” paksaku menempelkan uang pada tangan mang
ipul.
“Please mang, aku mohon terima.” Pungkasku memelas.
“Yasudah, sekarang saya terima, tapi jangan diulangi lagi!”
“Oke, sekali lagi terimakasih mang. Assalamu’alaikum” nyengirku berlalu dari hadapan mang ipul.
“Iya. Wa’alaikumussalam”
***
Senja mulai
menyingsing. Wajah langit memudar, kelam dan gelap. Jubah hitam menyelimuti
cakrawala. Bintang gemintang sebagian hadir menyapa malam. Semburat bulan mulai
terpancar. Lantunan azan bersahutan dari tiang-tiang agung yang disucikan.
“Cepet kak, nanti kita dimarahin sama Allah!” seru adya menggedor pintu.
“Iya, sebentar lagi, kakak lagi disarung!” timpalku dari dalam kamar.
Sejurus
kemudian, aku dan adik kecilku bergegas menuju masjid Al-Ikhlas. Menegakkan
shalat maghrib secara berjamaah. Di pertengahan jalan, langkahku tiba-tiba
kaku, tak bisa digerakkan.
Adya menepak
pahaku, “Kak, kok teman-teman adya banyak yang bilang, bahwa adya gak
punya ayah sama ibu. Apa benar kak, adya ini gak punya ayah sama ibu?”
Aku
terkesiap. Tenggorokanku tersekat. Lidahku kelu. Mulutku bergetar. Ku hembuskan
nafas dalam-dalam. Dan ku tata perlahan.
“Punya kok” pelanku hampir tak terdengar.
“Beneran kak punya. Beneran! Tapi. . . Sekarang mereka ada di mana kak?”
“Ya Allah, apa yang harus aku katakan padanya” batinku bergejolak.
Wajah mungil
itu masih menatapku dengan seksama. “Kok gak dijawab kak? Ayah sama ibu
sekarang lagi di mana?” protes adya menarik-narik sarungku.
Ku angkat
badan mungil itu. ku peluk erat dan ku hembuskan getar suaraku yang menyesakkan.“Di
surga-Nya”
“Adya, jangan lagi engkau bertanya perihal ayah dan ibu kita. Kakak tak
kuat menjawabnya. Karena kakak, lebih rapuh dari setangkai mawar dalam
perkara ini”batinku berteriak, menatap wajah
polos yang selalu menanyakan di mana ayah dan ibunya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar