Index Labels

Lebih Rapuh dari Setangkai Mawar...

Posted by Ucu Supriadi


Sore itu aku sedang duduk santai di beranda perjal (perpustakaan jalanan) milikku. Perjal adalah impianku sejak aku kuliah di IAIN dulu. Sekarang aku memandang puas pada usahaku selama ini. Aku bisa mendirikan perpustakaan jalanan di kota kelahiranku. Majalengka.
Perjal ini cukup luas, beberapa rak besar tempat buku-buku berjejer rapi dengan koleksi-koleksi buku yang dikelompokkan menurut ruang lingkupnya dan disusun secara alfabetis. Pandanganku tertuju pada rak buku di pojok ruangan yang berisi buku-buku tipis milikku. Ya, itulah catatan harianku ketika aku kuliah dan ayah dan ibuku masih hidup. Ku ambil buku kucel tersebut yang disampulnya tertulis “Catatan Harian Seorang Pejuang!”
Setelah ku pandangi, aku tersenyum dan membuka kembali lembaran-lembaran hidupku di masa lampau. Aku terpana dan terhenti di bab “Nasihat dari Mimi (Ibu)”. Di sana aku menulis sebuah cerita yang begitu memotivasi hidupku yang terlontar dari Mimiku.

“Cu, nanti setelah Mimi tidak bisa lagi menemani ucu. Mimi harap ucu senantiasa mengingat cerita ini, lantas merenungi dalam-dalam hikmah yang terkandung di dalamnya.
Alkisah di suatu pulau kecil, tinggallah berbagai macam benda-benda abstrak:  ada Cinta, Kesedihan, Kekayaan, Kegembiraan dan sebagainya. Mereka hidup berdampingan dengan baik. Namun suatu ketika, datang badai menghempas pulau kecil itu dan air laut tiba-tiba naik dan akan menenggelamkan pulau itu. Semua penghuni pulau cepat-cepat  berusaha  menyelamatkan  diri. 
Cinta  sangat  kebingungan karena ia tidak dapat berenang dan tak mempunyai perahu. Ia berdiri di tepi  pantai dan mencoba mencari pertolongan.  Sementara itu air makin naik membasahi kaki Cinta. Tak lama Cinta melihat Kekayaan sedang mengayuh perahu.

”Kekayaan! Kekayaan! Tolong aku!” teriak Cinta.
”Aduh! Maaf, Cinta!” kata Kekayaan.
“Perahuku telah penuh dengan harta bendaku. Aku tak dapat membawamu, nanti perahu ini tenggelam. Lagi pula tak ada tempat lagi bagimu di perahuku ini”.
Lalu Kekayaan cepat-cepat mengayuh perahunya pergi. Cinta sedih sekali, namun dilihatnya Kegembiraan lewat dengan perahunya.
“Kegembiraan! Tolong aku!”, teriak Cinta.
Namun kegembiraan terlalu gembira karena ia menemukan perahu sehingga ia tak mendengar teriakan Cinta.
Air  makin  tinggi  membasahi  Cinta  sampai  ke  pinggang dan  Cinta  semakin panik. Tak lama lewatlah Kecantikan.
“Kecantikan! Bawalah aku bersamamu!”, teriak Cinta
“Wah, Cinta, kamu basah dan kotor. Aku tak bisa membawamu ikut. Nanti kamu mengotori perahuku yang indah ini”, sahut Kecantikan.
Cinta sedih sekali mendengarnya. Ia mulai menangis  terisak-isak. Saat itu lewatlah Kesedihan.
”Oh, Kesedihan. Bawalah aku bersamamu”, kata Cinta.
”Maaf  Cinta.  Aku  sedang  sedih  dan  aku  ingin  sendirian  saja...”  kata Kesedihan sambil terus mengayuh perahunya.
Cinta  putus  asa.  Ia  merasakan  air  semakin  naik  dan  akan menenggelamkannya. Pada saat kritis itulah tiba-tiba terdengar suara.
”Cinta! Mari cepat naik ke perahuku!”
Cinta  menoleh  ke  arah  suara  itu  dan  melihat  seorang tua  dengan perahunya.  Cepat-cepat  Cinta  naik  ke  perahu  itu,  tepat  sebelum  air menenggelamkannya.
Di pulau terdekat, orang tua itu menurunkan Cinta dan segera pergi lagi. Pada saat itu barulah Cinta sadar bahwa ia sama sekali tidak mengetahui siapa orang tua yang menyelamatkannya itu. Cinta segera menanyakannya kepada seorang penduduk tua di pulau itu, siapa sebenarnya orang tua itu.
”Oh, orang tua tadi? Dia adalah Waktu” kata orang itu.
”Tapi mengapa ia menyelamatkanku? Aku tak mengenalnya. Bahkan teman-teman yang mengenalku pun enggan menolongku” tanya Cinta heran.
”Sebab” kata orang itu. ”Hanya Waktulah yang tahu berapa nilai sesungguhnya dari Cinta itu...” pungkasnya sangat bijak.

Tak tahu kenapa, setelah membaca cerita itu, air mataku meleleh membasahi buku. Sontak aku usap dengan jari jemariku yang kasar, sebelum air mataku merusak buku kesayanganku. Ku kecup dan ku tutup buku itu secara perlahan lantas mengembalikan ke tempat semula. Setelahnya, Aku memandang lagi secara keseluruhan perpustakaan jalanan milikku, sebuah televisi 14 inci dan sebuah netbook biru Acer berada di meja kasir, yang waktu itu aku beli dari jerih payahku sendiri, menjual tempe goreng bersama Aif, teman akrabku di masa kuliah. Hembusan angin cukup membuat udara terasa sejuk di bulan september yang panas ini.

Kilau senja begitu indah menyemburatkan fanorama surga. Sepoi-sepoi angin terus membelai pundakku. Aku melirik ke arah jarum jam yang ada di tangan kiriku. Waktu menujukkan pukul 17.00 WIB, lantas aku tutup perpustakaan jalananku. Karena setelah maghrib, ada kultum dari ustadz hasan akhimullah perihal keagungan cinta seorang ayah.
Seperti biasanya aku pulang ke rumah naik becak yang berada di depan perjalku. Aku sangat senang menaiki becak tersebut. Karena sang pilot becak, begitu ramah padaku dan begitu hebat dalam berjuang mengayuh pedal becak, walau usianya sudah senja namun semangatnya seperti kaula muda yang menggebu-gebu. Ah, aku jadi teringat almarhum ayahku yang begitu totalitas dalam mencari nafkah. O ya, nama pilot becak itu Saiful Taufik. Tapi aku sering memanggilnya mang ipul.
Dalam perjalanan menuju rumahku, terjadi dialog interaktif  antara aku dengan mang ipul. Becak terus melaju, aku memberanikan diri mengawali percakapan.

“Mang, udah berapa lama sih, mang ipul menarik becak?” tanyaku penasaran.
“Yaaaa, hampir 10 tahunanlah” jawabnya santai.
“Apa?! 10 tahunan, serius mang?”
“Iya serius, malah dua rius. Hehe”
“Ah mang ipul ini bisa aja guyonnya. O ya, kenapa sih mang ipul lebih memilih menarik becak, ketimbang yang lain. Misalkan maaf, jadi office boy, cleaning service atau jadi apa kek yang kira-kira tidak memeras keringat?”
“Oh itu. jawabnya sederhana. Karena hidup saya tidak ingin diatur sama orang dan diremehkan begitu saja. Karena saya berkiblat pada kisah pilu teman saya yang hidupnya diatur –atur orang lantas direndahkan, bahkan dihinakan begitu saja. Sebut saja namanya yuda. Yuda itu profesinya jadi Cleaning Service di sebuah perusahaan ternama di kota ini. Tiga bulan yang lalu, harga dirinya telah diinjak-injak sama bossnya. Bayangin coba, anak semata wayangnya harus dipaksa nikah sama bossnya. Cuma gara-gara yuda lupa tidak mengepel dan membersihkan ruangan bossnya. Alasannya sih, yuda telah lalai terhadap tugasnya. Kalau yuda menolak, nanti yuda akan dipecat dan perkara itu akan diusut ke pengadilan. Dengan pasal kelalaian dalam bekerja.
Telisik demi telisik, ternyata bossnya itu telah memendam cinta teramat dalam terhadap anaknya. Karena anaknya tidak mau, maka dengan jalan itu, ia akan berhasil mendapatkannya. Keterlaluan bangetkan? Maka dari itu, saya lebih memilih jadi tukang becak, disamping halal, tentunya tidak tertekan sama atasan. Semua pekerjaan apapun dan di manapun, pasti akan mengeluarkan keringat mas. Mas sendiri yang kerjanya nunggu di perpustakaan jalanan, sekarang basah kuyup sama keringat..”
“O iya, hehe” timpalku segera menyusut keringat yang menetes dari pundak dan leherku.
“Mang ada cerita inspiratif lagi nggak buatku? Katanya kemarin mau bercerita perihalKekuatan Api Cinta tagihku pada mang ipul.
“Oh ada mas. Tapi mas bersedia lagi nggak mendengarkannya?”
“Tentunya bersedia dong!”
Dengan memegang erat setir becaknya, handuk pengelap keringat dikalungkan ke lehernya, lantas Ia penuhi permintaan dariku. Pelanggan setianya.

“Gini Mas. . Alkisah  suatu  ketika,  Kapak,  Gergaji,  Palu  dan  Nyala  Api  sedang  mengadakan perjalanan bersama-sama. Di suatu tempatperjalanan mereka terhenti karena terdapat sepotong besi baja yang tergeletak menghalangi jalan.  Mereka  berusaha  menyingkirkan  baja  tersebut  dengan  kekuatan yang mereka miliki masing-masing.
Aku hanya mengangukkan kepala, tanda aku serius dalam menyimak setiap tutur katanya yang terucap.
”Itu bisa aku singkirkan”, kata Kapak. Pukulan-pukulannya  keras  sekali  menghantam  baja  yang  kuat  dan  keras juga itu. Tapi tiap bacokan hanya membuat kapak itulebih tumpul sendiri sampai ia berhenti.
”Sini, biar aku yang urus,” kata Gergaji. Dengan gigi-gigi yang tajam tanpa perasaan, iapun mulai menggergaji. Tapi ia kaget dan kecewa, semua giginya jadi tumpul dan rontok.
”Apa kubilang,” kata Palu
”Kan aku sudah ngomong, kalian tak bisa. Sini, siniaku tunjukkan caranya”. Tapi baru sekali ia memukul, kepalanya terpental sendiri, dan baja tetap tidak berubah.
“Boleh aku coba?” tanya Nyala Api. Dan  iapun  melingkarkan  diri,  dengan  lembut  menggeluti,  memeluk  dan mendekapnya erat-erat tanpa mau melepaskannya. Bajayang keras itupun meleleh cair.
“Nah, apa coba mas hikmah yang bisa kita petik?” tanya mang ipul kemudian. Aku mengernyit lalu menggeleng.
“Hikmah yang bisa kita petik dari cerita tadi yaitu. Ada banyak hati yang cukup keras untuk melawan kemurkaan dan amukan kemarahan demi harga diri. Tapi jarang ada hati yang tahan melawan nyala api cinta kasih yang hangat. Betapa  arif  dan  bijak  ada  dalam  sebuah  kelembutan  dan  kehangatan, seperti  api  yang  mencairkan  hati  yang  dingin.  Ah,  tak  ada  yang  tahan menampik nyala api cinta kasih.”
“Subhanallah. Mang ipul ini bak Mario teguh. Super sekali. Dahsyattt!” kagumku pada mang ipul.

10 menit kemudian. Tak terasa becak yang aku tumpangi telah sampai ke tempat tujuan. Lantas aku keluarkan uang merah bergambar pak soekarno dan ku berikan pada mang ipul.
“Ini mang. Terimakasih atas motivasi dan ceritanya” ucapku menyodorkan uang 
“lho kok 100 ribu mas?”
“Ini sebagai ucapan terimakasihku, karena setiap hari mang ipul selalu memberikan motivasi dan cerita-cerita inspiratifnya padaku.”
“Tidak bisa seperti itu mas, ini bukan hak saya!” cegah mang ipul menolak.
“Ini rezeki mas, jangan ditolak. Aku ikhlas mas. Sumpah!” paksaku menempelkan uang pada tangan mang ipul.
“Please mang, aku mohon terima.” Pungkasku memelas.
“Yasudah, sekarang saya terima, tapi jangan diulangi lagi!”
“Oke, sekali lagi terimakasih mang. Assalamu’alaikum” nyengirku berlalu dari hadapan mang ipul.
“Iya. Wa’alaikumussalam”

***
Senja mulai menyingsing. Wajah langit memudar, kelam dan gelap. Jubah hitam menyelimuti cakrawala. Bintang gemintang sebagian hadir menyapa malam. Semburat bulan mulai terpancar. Lantunan azan bersahutan dari tiang-tiang agung yang disucikan.

“Cepet kak, nanti kita dimarahin sama Allah!” seru adya menggedor pintu.
“Iya, sebentar lagi, kakak lagi disarung!” timpalku dari dalam kamar.
Sejurus kemudian, aku dan adik kecilku bergegas menuju masjid Al-Ikhlas. Menegakkan shalat maghrib secara berjamaah. Di pertengahan jalan, langkahku tiba-tiba kaku, tak bisa digerakkan.
Adya menepak pahaku, “Kak, kok teman-teman adya banyak yang bilang, bahwa adya gak punya ayah sama ibu. Apa benar kak, adya ini gak punya ayah sama ibu?”
Aku terkesiap. Tenggorokanku tersekat. Lidahku kelu. Mulutku bergetar. Ku hembuskan nafas dalam-dalam. Dan ku tata perlahan.
“Punya kok” pelanku hampir tak terdengar.
“Beneran kak punya. Beneran! Tapi. . . Sekarang mereka ada di mana kak?”
“Ya Allah, apa yang harus aku katakan padanya” batinku bergejolak.
Wajah mungil itu masih menatapku dengan seksama. “Kok gak dijawab kak? Ayah sama ibu sekarang lagi di mana?” protes adya menarik-narik sarungku.
Ku angkat badan mungil itu. ku peluk erat dan ku hembuskan getar suaraku yang menyesakkan.“Di surga-Nya”

“Adya, jangan lagi engkau bertanya perihal ayah dan ibu kita. Kakak tak kuat menjawabnya. Karena kakak, lebih rapuh dari setangkai mawar dalam perkara ini”batinku berteriak, menatap wajah polos yang selalu menanyakan di mana ayah dan ibunya.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Hamba Allah yang fakir akan ilmu, miskin akan amal, dan lancang mengemis Ridha-Nya dengan maksiyat dan dosa. #NovelisMuda

Pujangga Belantara

Info Lomba Menulis

Follow Me