Index Labels

Senyum Terakhir untuk Umi (episode pertama)

Posted by Ucu Supriadi
Aku terduduk lemas, saat Ibu Arumi, Dosen Matematika di kampusku mengabari kalau Umiku masuk Rumah Sakit. Penyakit kronis itu kembali beringas menyerang tubuhnya yang lenguh. Penyakit jantung yang sudah stadium empat itu berhasil membuat Umiku koma kembali.
Berjuta perasaan berkecamuk dalam dada. Perasaan yang tidak-tidak seketika menghantui rongga hati dan alam bawah sadarku. Aku acuhkan perasaan tersebut. Kutata nafasku yang menderu karena panik. Lantas memutuskan untuk dispen dari pelajaran Bu Arumi. Dan beliau pun mengizinkannya.
Aku pulang menuju Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo dengan sekantung do’a yang terpanjat dari teman-temanku sekelas, tentunya dari Ibu supel nan ramah. Bu Arumi pun ada di dalamnya. Beberapa temanku sebenarnya ingin ikut, tapi Aku tolak. Dengan alasan ini urusan pribadiku. Titik.
Sesampainya di Rumah Sakit. Aku terus menunduk dan berdo’a agar Allah tidak memberikan tanda titik untuk Umiku. Dan semoga Allah memberikan tanda tanya untuknya. Agar Aku bisa menjawab semua keraguan yang mungkin belum bisa Aku jawab saat itu. Tapi hari ini, atas Nama-Mu! akan Aku jawab semua keraguan dan keinginan yang masih menggelayuti alam pikirannya.
“Rul. Umi ingin memakai sandal yang baru. Karena sedari Umi ditinggal Abimu, 1 tahun lamanya. Umi tak pernah memakai sandal yang baru. Engkau pun pasti tahu, kenapa Umi tak sanggup membelinya. Rumah Kita terjual untuk melunasi hutang Abimu yang 3 miliar. Karena Abimu tertipu sama koleganya. Sedangkan Umi tak punya siapa-siapa lagi, hanya tinggal Kau satu-satunya harapan Umi. Kau pun sudah mengetahui, hampir setiap hari Kita puasa, karena memang Kita tak punya apapun untuk dimakan. Kecuali ada seseorang yang tergerak hatinya untuk membantu Kita. Lihatlah nak, Kaki Umi sampai bengkak-bengkak karena sandal yang Umi pakai sudah bolong pinggirnya. Kaos kakinya pun sudah tak layak pakai. Karena setiap hari, selama satu tahun selalu Umi pakai, setelahnya Umi cuci karena takut menyerbakan aroma yang tak sedap. Dan Kau pun. . . .”
Seketika Aku seka sepenggal dialog antara Aku dengan Umiku tadi pagi, yang masih terngiang-ngiang menyumbat daun telingaku. Aku tak kuat lagi meneruskannya. Satu tetes. Dua tetes. Bulir cinta itu tak sengaja menetes dari sela-sela bola mataku. Aku usap lantas kututupi rapat-rapat bola mataku. Silu.
Detak jantungku semakin tak karuan. Ia laksana genderang yang ditabuh dalam peperangan. Membahana dan membuncah. Pikiranku carut marut dan nanar. Wajahku masai. Mataku temaram dan lembap karena air mata membanjirinya. Suaraku terseka dan kelu meneriakkan satu patahpun. Dinding rumah sakit seakan meneriakkan padaku. “Kamu harus sabar wahai anak! Allah telah menjanjikan kesembuhan untuk Umimu. Bukankah keyakinan adalah syarat dikabulkannya do’a?”
Jarum jam berhenti di angka 12. Azan zuhur memantul dari Masjid Assalam, yang letaknya tidak terlalu jauh dengan Rumah Sakit. Sementara Aku hanya bisa diam mematung, menatap lamat-lamat wajah Umiku yang sudah ada guratan urat menghiasi pipinya. Wajahnya tak kencang lagi. Keriput. Kubuka kerudungnya. Rambutnya sudah memutih. Uban. Pelupuk matanya mengisyaratkan sebuah perjuanan tangguh yang berhasil oleh Umiku taklukan. Tanpa mengeluh. Tanpa menyusahkan.
Di dalam penantianku, hanya permohonan dan doa yang bisa kupanjatkan kepada Allah SWT untuk kesembuhan dirinya.
“Ya Allah sembuhkanlah dia, angkatlah penyakit kronisnya Ya Allah. Aku berjanji ketika Umiku siuman, Aku akan kabulkan permintaan darinya. Membelikan sandal baru untuknya. Hasil dari jerih payahku.” Begitulah kiranya doa yang kupanjatkan untuk Umiku.

Dari arah belakang seorang Dokter menepak pundakku. “Bisakah anda keluar, kami akan mencoba menyelamatkan nyawa Umimu. Tentunya atas izin Allah.” Kata Dokter tersebut.
“Oh silakan dok.” Aku keluar menuruti permintaan dari dokter muda tersebut.
30 menit telah berlalu. Tak terasa Aku ketiduran. Mungkin Aku lelah. Dan dari belakang seorang Dokter kembali menepak pundakku “Apa anda keluarganya?” Kata Dokter tersebut.
“Ya benar, saya anaknya. Bagaimana keadaan Umi saya, Dok?” Ujarku penuh tanya.
“Alhamdulillah, kami tim medis berhasil menjinakkan sementara penyakit kronis Umi anda. Saat ini kondisinya cukup baik dan perlu banyak istirahat.” Jelasnya begitu runtut. “Satu lagi. Jangan terlalu banyak pikiran.” Sambungnya kemudian.
“Terima kasih Dokter” jawabku dengan nada lemas. Sebab kalimat “menjinakkan sementara” itu yang melemaskanku. “O ya Dok, bolehkah saya masuk?” imbuhku memastikan.
“Oh tentu, silakan.” Jawabnya ringan.
Seketika kutepis jauh-jauh semua pikiran buruk tentang kondisi Umi. Air mata kesedihan setidaknya kini tampak mengering, walaupun tidak akan bertahan lama. Sebab, suatu saat, penyakit gila itu akan kembali menyerang Umiku.
“Terima kasih Ya Allah, setidaknya engkau masih memberikanku kesempatan untuk berada disampingnya. Membahagiakannya disisa umurnya.” Aku berucap lirih.
Dengah langkah gontai Aku masuk ruang 601, tempat di mana Umiku dirawat, aku langsung duduk ditepi kasur, tempat Umi berbaring. Aku membelai rambutnya dengan penuh kasih dan sayang, dan berharap kesembuhan utuh untuknya.
Tak lupa kutatap wajahnya kembali, wajah yang sekarang tampak tenang dan berseri seri dari sebelumnya, seolah menghapus semua penderitaan dan kesedihannya selama ini, terutama setelah kepergian Abiku menghadap Sang Pencipta.
Aku terpaku, saat itu juga. Dan tanpa disengaja air mata itu kembali meleleh. Air mata yang mengingatkan aku akan kesalahan-kesalahan yang telah ku perbuat selama ini.
Sejenak aku terdiam. Dalam lamunanku itu, aku kembali teringat saat-saat di mana Umiku masih sehat dan segar, saat masih bisa menemaniku, memanjakanku dan mengajarkanku arti kehidupan. Bagiku, ia sangat menyenangkan. Sosok seorang Umi sekaligus sahabat, yang mungkin tidak semua anak dapat merasakannya. Sungguh, betapa beruntungnya aku. Adakah Kau dengar rintihan anakmu ini Mi?
Lalu pikiranku kembali ke empat tahun silam, ketika umurku menginjak 13 tahun dan menjadi seorang pelajar SMP terkenal di Majalengka. SMP Negeri 2 Jatiwangi. Pada saat itu, aku tumbuh menjadi seorang remaja yang nakal. Berbagai kenakalan seperti merokok, pacaran, berbohong, tawuran, berkelahi, dan mabuk-mabukkan, bahkan Aku pernah menendang kaki Umiku karena Ia menghalangiku saat Aku ingin pergi malam mingguan bersama pacarku. Suram. Kelam. Buram. Itulah empat tahun silam diriku.
Hal ini tentu membuat kedua Orang tuaku sangat khawatir. Mereka terus menasehatiku dengan penuh kesabaran dan perhatian. Kekerasan dan ego tak pernah mereka gunakan dalam mendidikku, tetapi agama-lah yang menjadi pedoman untuk terus membimbingku kepada kebaikan dan kebenaran.
Tak lama setelah Adikku meninggal, hatiku pun luluh. Aku benar-benar tak tega melihat kedua orang tuaku bekerja keras, banting tulang siang dan malam, serta rela melakukan apa saja demi aku, anaknya. Sejak saat itu aku bertekad untuk merubah dan membawa diri menuju arah yang lebih baik.
Di tengah perubahan itu, tiba-tiba di kelas Sembilan SMP hendak mau UN. Aku ditimpa musibah yang sangat membuatku merasa sedih, Abiku terserang penyakit batuk kronis dan meninggal empat hari kemudian. Menurut Dokter, Abi meninggal akibat terlalu banyak beban yang harus ditanggungnya, yang berpengaruh buruk kepada kesehatan paru-parunya. Aku yang mendengar hal itu langsung menangis sejadi jadinya dan berteriak sekencang kencangnya untuk mengncapkan “maaf’ walaupun ku tahu itu semua telah terlambat.
Kepergian Ayahku untuk selama-lamanya membuat beban Umiku bertambah dua kali lipat. Tubuhnya yang semula indah, khas seorang wanita, kini telab berubah menjadi seorang wanita yang iebih kurus dan terlihat kurang menarik lagi. Kulitnya yang kusam dan peluh keringat yang bercucuran didahinya menggambarkan betapa beratnya pekerjaan dan beban yang harus Umi pikul. Selama itu pula tak pernah kudengar keluh kesah atau penyesalan selama aku berada disampingnya. Benar benar wanita yang mulia. Umiku.

“Mi,  besok aku punya uang, akan aku belikan Umi sepasang sepatu ya, harga nya tak seberapa memang, paling tidak surgaku tak terkena goresan batu. Aku mohon Umi buka matanya. Aku mohon"

*
Bersambung

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Hamba Allah yang fakir akan ilmu, miskin akan amal, dan lancang mengemis Ridha-Nya dengan maksiyat dan dosa. #NovelisMuda

Pujangga Belantara

Info Lomba Menulis

Follow Me