Tentang hati, siapalah
Selia hingga bisa terbebas, benar-benar lepas dari denyut-denyut mendebarkan.
Jalan hidup yang ia pilih sekarang, untuk beranjak mencari penerangan, tak
berarti fitrahnya sebagai manusia hilang. Ia tentu saja masih normal layaknya
gadis lain yang bisa memiliki perasaan suka dan kagum terhadap golongan dari
manusia yang pertama kali diciptakan. Selia, sekali lagi dengan segala usahanya
untuk tunduk patuh sepenuhnya pada raja seluruh alam, tetaplah seorang gadis
yang sewaktu-waktu bisa terserang racun merah-muda.
Angin tengah bersemilir,
membelai lembut wajahnya yang tersembunyi. Pun mentari keemasan di sore hari
ikut membelai lembut dengan jamahan hangatnya. Selain irama rinai air langit,
Selia begitu merasa dimanjakan dengan lukisan alam penjemput jingga, bahkan
terkadang merah saga. Itulah mengapa ia ingin seperti senja, dirindukan karena
keindahannya. Anak kecil tengah bermain kejar-kejaran di hadapannya.
Sayup-sayup suara mereka memancing ingatan Selia akan masa kecilnya dan masa
kemarin yang baru saja hangat terjadi.
=====
"Selia, kamu suka sama
siapa? Aku suka sama Ozor, dia islami banget menurutku," suara seorang
gadis bernama Berlian itu menggema dalam ingatannya.
"Ozor? Yah, kalau
menurutku dia jutek. Ah, kalau aku sih suka sama Shagy. Dia lucu dan
cakep," balas Saliah kecil yang saat itu masih duduk di tingkat lima
putih-merah. "Duh, Berlian kok sukanya sama Ozor, gak banget deh. Orang
sombong gitu. Lian... Lian. Ada-ada ajah." Dalam hati, Selia menertawakan
Berlian, heran mengapa Ozor yang harus dikagumi Berlian.
Polos. Mereka masih sangat
polos, belum mengenal apa itu cinta hakiki, belum paham bagaimana semestinya
bermain peran dalam laganya. Selia hanya bisa tersenyum mengingat-ingat masa
kecilnya. Sebatas kekaguman semu dengan beralasankan wajah lucu, tentu saja
sosok Shagy telah lenyap begitu saja dari peredaran memori Selia. Lagipula
Selia sudah paham bagaimana kriteria yang pantas dijadikan sebenar-benarnya
imam, bukan yang asal tampan dan mapan, melainkan faktor agama harus
dinomorsatukan.
Enam tahun telah berlalu
setelah ia meninggalkan jenjang pendidikan kedua selepas taman kanak-kanak.
Hanya tersisa beberapa saja kawan kecilnya semasa itu yang masih bisa
dihubungi, selebihnya tak tahu ke mana. Seperti sebuah pelabuhan transit ada
yang datang dan pergi, begitupun kehidupan ini. Ada yang di awal datang lalu
pergi perlahan, ada pula yang pergi lalu datang entah untuk pertama atau pun
kesekian kalinya. Ya, datang-pergi kemudian datang lagi namun harus dibiarkan
pergi lagi.
Ozor, siapalah golongan
adam yang satu ini? Hanya lelaki yang menurut Selia dianggap jutek, biasa saja,
tak ada keistimewaannya sama sekali bahkan terkesan sombong karena
kejutekannya. Namun roda tetaplah roda, ia berputar saat digerakkan. Ada
kalanya kemarin begini dan sekarang begitu. Terlepas dari kekurangan Ozor yang
Selia tahu dengan sendirinya, Selia merasakan racun merah-muda telah tersuntik
ke dalam tubuhnya lantas menjangkau areal rawan yang dinamakan hati, tempat kendalinya
perasaan yang hadir.
Ozor yang tanpa disangka
mengutarakan perasaannya pada Selia. Entah sungguhan atau gurauan, Selia
mengakui kekaguman dirinya. Ozor datang membawa segenap perubahan yang sangat
melejit. Tanpa sengaja, kriteria yang ia impikan ada pada Ozor. Ozor dengan
sekian kekurangnnya menjadi bermakna. Penilaian buruknya tentang Ozor beberapa
tahun yang lalu seakan hilang, lenyap ditelan kekaguman akan sosok Ozor masa
kini. Tanpa sadar Selia mulai terbuai perangkap yang dipersiapkan iblis hingga
Ozor bisa membaca perasaan yang sama dari Selia. Tertangkap basahlah Selia yang
diam-diam menyukai Ozor juga hanya karena kelalaiannya dalam bersikap. Saat
itu, Selia mulai merasakan ada yang aneh dalam hatinya, gelisah tak karuan.
Suatu malam, Selia tersedot
kembali ku dunia nyata setelah mengunjungi alam mimpi. Ia lantas duduk dan
bergetar ketakutan. Ozor kembali datang ke dalam bunga tidurnya untuk kali
kesekian. Di luar masih sangat gelap, rembulan masih memeluk hamparan langit,
bahkan kokokan ayam jantan belum terdengar. Hanya ada detak jam dinding di
ruang tamu yang nyaring tik-tokannya tertangkap daun telinga. Rembulan buakn
terasa romantis melainkan terasa horor dan menegangkan.
"Kenapa harus
didatangi sosok Ozor lagi?" tanyanya dalam hati dengan tubuh yang dipenuhi
keringat dingin.
Nasihat-nasihat agama yang
pernah ia dengar, seakan menggema di ruangan kecil yang menjadi kamarnya.
"Zina! Zina! Zina!" kata-kata ini seperti terpantul dari setiap sisi
dari dinding kamarnya. Selia semakin bergetar, ketakutan dan napasnya
tersengal.
"Zina itu bukan hanya
lewat kemaluan seperti yang orang-orang artikan. Ada juga zina mata, telinga,
kaki, tangan, dan hati. Ya, HATI!"
Nasihat guru mengajinya
menambah kekalutan malam itu. "Hati! Hati! Hati!" lagi-lagi dinding
itu bagai berbicara padanya. Selia semakin merasa ketakutan dan ingin rasanya
berteriak. Namun kedua bibirnya hanya mampu terkatup rapat. Hanya tangisan yang
menggantikan. Selia menangkupkan telapak tangan di wajahnya, ia mulai terisak.
Diintipnya celah dari jemari yang tak rapat, ia melihat sajadah merah masih
terbentang bekas salat isya semalam.
Bagai melambai-lambai
dengan lembut sajadah itu berkata, "Mari, Selia! Aku antarkan kau mengadu
pada Rabb. Ciumkanlah keningmu di sini, duduklah di atasku dan menangislah
sepuasnya di pangkuanku. Mari, Selia! Bergegas ambil air wudumu!"
Jadilah ia malam itu
menangis mengadu. Kegelisahan yang ia rasakan adalah buah kelalaiannya. Selia
semakin sadar diri betapa hebatnya wanita untuk menimbulkan fitnah. Bermuhasabah,
baiknya Ozor dibiarkan pergi setelah memang kepergiannya kembali untuk
keperluan lain.
***
Tengah asyik berselancar di
sosial media, ia sadari bahwa Ozor kembali lagi untuk kesekian kalinya. Sebelum
kepergian Ozor, Selia meninggalkan pesan untuknya agar tak menghubungi Selia
kembali. Semua itu semata untuk menjaga dirinya pun Ozor. Ozor merasakan Selia
menjauhinya. Di lain sisi, ia membaca percakapan Selia dengan teman lelakinya
di sosial media tentang hal yang sama sekali tak ada sangkut pautnya dengan
perasaan, hanya sebuah barang yang menjadi topiknya. Itu pun tak dijadikan
ajang kebiasaan untuk mengobrol selanjutnya dengan topik yang keluar dari
kepentingan syar'i. Ozor merasa itu tak adil bagi dirinya. Selia tak mau ambil
pusing. Ia tak menghiraukan Ozor yang tengah uring-uringan.
Hari berganti hari, pekan
berganti pekan, Ozor kembali menghilang dari sekeliling Selia. Selia tengah
mematut diri di depan cermin. Bersiap untuk pergi ke toko buku. Ia memutuskan
untuk menghabiskan akhir pekan dengan memanjakan mata melihat bermacam-macam
buku, barangkali ada beberapa yang membuat ia terpincut lantas mengantonginya
untuk dibawa pulang. Ya tentu saja dengan menukar buku tersebut oleh uang
seharga bukunya.
Setengah jam berlalu, ia
masih mencari buku mana yang akan dibeli. Satu buku berjilid merah jambu
menarik hatinya untuk melihat buku tersebut. Jika dilihat-lihat sepertinya itu
tergolong buku panduan pernikahan, seputar rumah tangga, panduan menjadi
seorang istri atau semacamnya mungkin. Tangannya menjangkau tumpukan buku di
hadapan. Buku yang ia maksud letaknya berada di jajaran yang cukup tinggi,
sehingga ia harus susah payah merogohnya. Brug! Satu buku terjatuh. Selia
tersenyum akhirnya buku itu bisa dilihatnya.
Buku itu masih tergeletak
di lantai. Selia lantas membungkukkan badan untuk mengambilnya. Saat hendak
berdiri lagi, matanya tepat menangkap satu sosok yang tengah berdiri sejauh
kurang-lebih lima meter dari tempatnya berdiri. Selia bergetar lemas dan
memutuskan untuk segera pergi sebelum lelaki itu menoleh ke arahnya.
Brug!
"Mba, kalau jalan
lihat-lihat dong!" seorang wanita di hadapannya tak sengaja tertabrak oleh
Selia yang tengah cemas.
"Iya, maaf. Sekali
lagi maaf ya, Mba."
"Ya sudah, tak
apa."
Tanpa tunggu lama, ia
berlari meninggalkan tempat itu untuk segera keluar dari toko buku tersebut.
Selia bergegas menuju eskalator. Malangnya, sesak sekali di sana. Para karyawan
yang hendak makan siang mengantri untuk sama-sama ke lantai satu juga.
***
Lelaki yang tadi dilihat
Selia menoleh mendengar suara gaduh di seberang. Rasanya ia kenal pemilik suara
itu. Sayang, wanita yang berpakaian serba coklat itu memunggunginya. Ia tak
bisa melihat wajahnya untuk memastikan pendengarnya tidak salah. Saat gadis
berjilbab itu masih berbincang dengan wanita di hadapannya, ia segera berjalan
mendekat. Wanita yang ditabrak gadis itu berlalu dan belum sempat ia
mendekatinya, gadis itu sudah berlari pergi.
Ia ikut berlari mengejar
gadis itu. Beruntung, banyak karyawan yang tengah menggunakan eskalator juga.
Jadi setidaknya itu bisa melambatkan pergerakan gadis yang berlari tadi. Ia
tengok ke bawah, gadis itu masih dalam setengah perjalanan eskalator. Tanpa
tunggu lama ia menyelip di antara kerumunan orang yang tengah mengantre
eskalator juga. Tak mau menunggu, ia menyelip di anatar orang yang berdiri
menunggu eskalator bergerak ke bawah. Ia turuni anak tangga satu per satu.
Gadis yang dilihatnya telah berhasil mencapai mulut pintu keluar.
"Tunggu!"
teriaknya pada gadis di hadapannya yang tengah berjalan cepat.
Gadis itu sama sekali tak
menggubris teriakan si lelaki. Ia meneruskan langkahnya.
"Aku tahu, kau adalah
Selia!" masih dalam suara setengah berteriak.
Ya, benar terkaannya. Gadis
berjilbab coklat itu tak lain adalah Selia. Seketika Selia menghentikan langkah
dan mematung tanpa membalikkan badan. Lelaki yang bernama Ozor itu ikut
menghentikan langkah dan mengatur napasnya yang tersengal karena lelah berlari.
"Mengapa belakangan
kau seperti menghindariku?"
Selia diam. Cukup kejadian
saat itu membongkar perasaannya. Ia tak mau salah bersikap lagi.
"Mengapa kau diam? Apa
salahku sehingga kau perlakukan aku seperti ini?"
Selia masih diam dengan
posisi memunggungi Ozor.
"Aku sudah penuhi
maumu untuk tak menghubungimu karena kau bilang tak ada bedanya dengan orang
berpacaran jika kita masih mengadakan kontak seperti itu. Baik, sudah aku
penuhi semampuku. Tapi mengapa kau berbicara dengan dia di sosial media? Itu
benar-benar tak adil bagiku! Kau menjauhiku tapi kau berbicara dengan teman
lelakimu. Sedang aku sama sekali tak kauperbolehkan untuk menghubungimu.
Mengapa, Selia? Mengapa?!" Ozor terlihat kesal.
"Justru sebab aku
paham sekali kau menyimpan perasaan untukku. Begitupun sebaliknya aku. Aku tak
mau hanya karena hal itu kita bisa tergelincir pada tipu daya iblis. Sebab aku
paham kondisinya. Lagipula tak ada yang spesial tentang obrolanku dengannya,
hanya menanyakan perihal sebuah barang. Sudah itu saja. Bukan sayang namanya
jika kuajak orang yang kusayangi itu ke jurang neraka. Ini jalan yang kupilih
untuk menghindarkan kita dari hal itu," gumam Selia dalam hatinya.
"Selia, kau masih
ingat janjiku padamu? Aku akan mendatangi walimu. Aku tahu kau belum siap, aku
belum siap, masih ada yang harus kita persiapkan. Tapi aku manusia biasa Selia.
Saat aku merasa kehausan itu datang, apakah aku masih harus menunggu hujan
sementara ada telaga yang menyegarkan airnya?"
Pertanyaan itu terasa
menusuk, berusaha mengobrak-abrik tanggul kesabarannya. Namun Selia tetap pada
prinsipnya untuk diam akan perasaannya. Dengan tegas ia katakan, "Jika
dengan menunggu hujan kau bisa mati kehausan, apa salahnya meneguk air dari
telaga yang kaujumpai? Tak perlu bersabar menunggu hujan jika itu
mematikan."
Selepas mengucapkan kata
itu dengan mantap, Selia meninggalkan Ozor yang masih mematung. Ozor tak perlu
tahu bagaimana perasaan Selia ke depannya. Diamnya Selia adalah bentuk
bicaranya. Doanya adalah lisan yang menyuarakan apa yang ia rasa. Sebab Selia
percaya, tulang rusuk tak akan tertukar dengan pemiliknya. Sejauh apapun jarak
memisahkan, sehampa apapun tanpa kata, jika yang telah memasang-masangkan
manusia berkata bahwa ia berjodoh dengan Ozor, maka tak ada yang bisa
menghalanginya. Begitupun sebaliknya.
=====
"Dorrr!" Fanya
menepuk pundak Selia.
"Aduh, Kakak. Ngagetin
ajah deh." Mata sipitnya mengisyaratkan ia tengah menyimpul senyuman.
"Lagian... Ngelamunin
apa sih kamu? Pasti Ozor ya?" Fanya ikut duduk di sampingnya menatap
matahari yang beranjak tenggelam di kaki langit barat.
Selia semakin terkembang
senyumnya, terlihat dari matanya yang semakin menyipit, mirip orang hendak
memejam mata. "Kain kafanku tengah ditenun, Kak. Bukankah lebih baik aku
menafakuri kematian daripada sibuk menggalaukan orang yang tak halal
untukku?" ucapnya dengan mata yang masih lekat memandang gurat senja.
"Ya... barangkali
gitu. Barangkali kamu mikirin janjinya yang mau nikahi kamu. Barangkali kamu
mikirin perjalanan hidup kamu nanti dengan dia," tebak Fanya asal-asalan.
"Perjalan hidup? Ya,
perjalan masih jauh, Kak. Kampung akhirat masih jauh. Itulah perjalanan
sesungguhnya. Maka, bukankah sepatutnya aku menyibukkan diri untuk memikirkan
bagaimana caranya mendapat bekalan yang banyak untuk kehidupan selanjutnya
daripada memikirkan kehidupan ke depan dengan orang yang belum tentu
ditakdirkan bersamaku?" Selia masih tetap dalam senyumnya.
"Duh... bijak sekali
nih kamu," ucap Fanya sambil mengacak-acak kepala Selia. "Eh, pulang
yuk! Noh lihat matahari udah mau tidur dan diganti peran sama rembulan!"
tunjuk Fanya ke langit.
"Yuk! Kita pulang,
Kak," ucapnya sambil berdiri.
"Yuk!" Wanita
yang tinggi semampai dengan kulit hitam manisnya ini merangkul pundak Selia,
melingkarkan sebelah lengannya.
"Lagian Selia lapar
nih." Selia mengusap-usap perutnya sambil tertawa kecil.
"Hah? Tumben kamu
lapar. Tapi bagus deh, lain kali serong-sering mikirin kematian lagi ya."
Fanya cekikikan.
"Loh, emang kenapa,
Kak?" tanya Selia keheranan.
"Ya bagus aja. Dengan
itu kamu jadi terkuras tenaganya lantas kan nanti lapar kaya sekarang, pasti
banyak makan deh nantinya. Biar...," Fanya menjeda bicaranya sambil
memicingkan mata ke arah Selia.
"Biar apa, Kak?"
Selia terlihat tak sabar menunggu kelanjutan bicara Fanya.
"Biar... Ga cungkring
dan mungil kaya giniii!" teriak Fanya sambil berlari, Fanya tertawa lepas
berhasil menggoda Selia.
"Ah... Kakak...
Ada-ada aja," balas teriak Selia.
Selia ikut tertawa dan
berlari mengejar Fanya yang sudah jauh di depannya. Potongan mentari terlihat
semakin sedikit di kaki langit. Seterusnya, Selia akan berusaha sekuat tenaga
untuk menyembunyikan perasaannya. Sekalipun Ozor harus merasa geram dan salah
paham atas diamnya Selia padanya, itu tak mengapa. Itu lebih baik daripada
harus berdekat-dekatan sementara takdir manusia tak ada yang pernah tahu. Sebab
lewat diam sejatinya Selia berbicara bahwa ia ingin menyayangi hanya karena
Allah yang menjadi alasannya.
_______________
Kota Kembang,
Muharram 1436 H.
Azalea
Senja.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar