Di tepi sawah dekat waduk cilimus, terdapat seorang pemuda tengah
melamun, terpekur memandangi senja yang begitu indah menyulam sore di
desa Jatisura. Kemilaunya mengais langit begitu indah menakjubkan. Wajah
langit tampak elok berhias jingga dengan burung-burung punai
bertebaran. Semilir angin menyepoi, membelai wajahdan pundak sang
pemuda. Sejuk, damai dan tenteram yang ia rasa. Mengusir segala
kerinduan yang ia sembunyikan dibalik air mata.
Sesaat
ia seka air mata lantas memandangi burung punai yang tampak asyik
bersenda gurau di bawah langit senja. Mengepakkan sayap dan bercicit ria
mendendangkan irama langit, menggema dalam kebisuan sore yang menjelma.
Bebas, penuh cinta dan tanpa beban, begitulah bahasa tubuh yang hendak
si burung punai sampaikan padanya. Mereka seolah tak memikul beban berat
dan tak ambil risau akan alur kehidupan ini yang masih gelap berlapis
misteri.
Setelahnya,ia kembali mendongak melihat
semburat Lukisan-Nya yang indah menawan mata,senja. Senja kembali
menyihirnya, hampir bola matanya tak lepas dari tatapan takzim akan
makhluk Ciptaan-Nya. Itulah mengapa ia ingin sekali menjadi senja,yang
dirindukan kehadirannya dan penampakkannya menjadi hal-ihwal kedamaian.
Dalam
tatapannya ia berpikir, siapa yang menciptakan burung-burung punai yang
indah dan merdu itu? lantas mengajarkannya terbang gemulai menghias
langit? Siapa juga yang menciptakan senja? Kenapa senja diciptakan kala
sore tidak siang atau pagi hari? Dan siapa yang menghembuskan angin
sehingga tercipta darinya kesejukkan? Siapa pula yang menciptakan air
mata? Kenapa tangisan suka dan duka keluar dari mata yang melelehkannya
di pipi?
Seketika pertanyaan yang mungkin orang
lain lalai dipertanyakan itu menghujami peredaran otaknya. Tak selang
lama, tiba-tiba suara almarhum ayahnya berbisik dalam ingatan,
mengejakan sebuah jawaban.
“Nak, ingatlah selalu
perkataan ayahmu ini, betapa pun lamanya kau hidup, entah ayah sudah
pupus atau tegar menginjak bumi bersamamu. Bahwasanya semua yang ada di
dunia ini pasti ada Sang Pencipta, apapun itu. Coba kau tengok padi
kuning yang siap dituai itu, sang padi tidak akan jadi dengan sendirinya
tanpa ada orang yang menanam biji padi tersebut. Padi ada sampai
menguning seperti itu pertanda ada “sesuatu” yang menghadirkan dan
merawatnya. Dan “sesuatu” itu yang dinamakan pencipta, pencipta padi
yang bertugas menjaganya. Pun dengan kehidupan ini, burung ada dan bisa
terbang karena ada “sesuatu” yang menciptakan dan menerbangkan burung
tersebut. Begitupun dengan angin dan air mata. “Sesuatu” itu tak lain
dan tak bukan adalah Allah, Rabb Semesta Alam. Tuhan kita semua.
Senja
ada dan menempatkannya di sore hari karena sudah skenario dari Allah
yang menciptakannya. Senja dan sore adalah harmonisasi alam. Seperti
halnya pagi, harmoni alamnya fajar, siang harmoni alamnya surya dan
malam harmoni alamnya rembulan.
Kenapa
Allah mengucurkan air kesukaan dan kedukaan di mata dan melelehkannya
di pipi? Karena mata adalah titik rawan manusia mencipta dosa sedangkan
pipi merupakan telaga pelebur dosa. Sehingga Allah kucurkan air untuk
meleburkan dosa tersebut, entah peleburannya dengan kesukaan lalu
bersyukur atau kedukaan lantas bersabar.
Jadi
salah total kalau ada orang yang mengatakan bahwa alam semesta,
kehidupan dan manusia yang teramat kompleks ini ada dengan sendirinya
tanpa ada proses penciptaan, tanpa ada campur tangan Sang Pencipta,
Allah.
Padahal Allah telah berbicara
pada kita dalam Qur’an Surah Al-Imran ayat 190. “Sesungguhnya dalam
penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang
terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal”
Pelan tapi pasti bisikan itu diterpa semilir angin yang menerbangkannya ke angkasa raya. Lembut dan menghilang.
Kala
sore menjelang, tepi sawah menjadi tempat favoritnya untuk memikirkan
keagungan Allah yang Maha Dahsyat. Tempatnya berkontemplasi diri. Dan di
waktu senja menyapa, desa Jatisura kelihatan damai. Tak ada gemerlap
lalu lintas duniawi seperti halnya di perkotaan, hanya kesejukkan dan
keasrian yang tercipta dari bentangan sawah hijau terkotak-kotak. Dan di
sawah itulah, sawah paling ujung, pojok kiri, dia menghabiskan masa
kecilnya bersama ayahnya. Bermain lumpur, ketawa-ketiwi,menanam biji
kacang, tomat dan lain hal.
Darisana pula, ia
mendeklarasikan dirinya menjadi lelaki senja. Lelaki yang bukan hanya
dirindukan kehadirannya, ataupun kedamaian yang tercipta darinya, akan
tetapi segala kemaksiyatan yang telah ia ukir di masa lalu, telah ia
senjakan pada senja-Nya yang menyemburatkan noda kelam masa lalunya.
Dari hitam-kelam menjadi keemasan berharga. Senja merupakan harmoni alam
yang senantiasa ia rindukan. Dialah aku, fatih akhimullah.
“Kau
tahu? senja adalah saat terbaik menceritakan kisah rindumu pada dunia,
sebab di sana akan kau temukan jawaban diantara angin dan pejaman mata.”
Kelopak
mata yang terpicing, langsung kubuka lantas melirik ke belakang,
melihat siapa rupa yang bicara, “oh rupanya kau hamdi, sejak kapan kau
ada di sini?”
“Sejak hatimu bercerita atas kenangan bersama ayahmu.”
“Darimana kau tahu bahwa aku sedang bernostalgia bersama ayahku dalam ingatan?”
“Aku
sudah kenal dekat denganmu, matamu tak bisa berkilah. Saat senja, pasti
kau adadi tempat ini, senantiasa mengisahkan rindumu pada dunia. Pasti
ayahmu ada dalam barisan rindumu.” Balas hamdi duduk sembari menepuk
pundakku.
Dengan tetap menatap senja, aku berujar,
“jujur di, senja menurutku spesial. Hanya datang pada waktu tertentu.
Saat dia datang, dia membawa keindahan. Dan satu lagi, kehadiran orang
yang dikasihi rasanya adalah kado yang tak ternilai harganya. Memang
kita juga bisa hadir lewat do’a yang terlantun. Namun dengan berada di
sampingnya, kita dapat berbagi perasaan, perhatian dan kasih sayang
secara lebih utuh dan intensif.” tuturku sambil melempar batu ke tengah
sawah.
“Kau rindu pada ayahmu? ” tanya hamdi sembari melempar batu ke arah sawah yang tadi aku lempari.
“Entahlah,
ketika senja datang pasti aku rindu akan ayah. Tak tahu kenapa? Mungkin
banyak kisah yang telah aku jalani bersamanya di kala senja.”
“Oh seperti itu. Oh ya, apakah kau suka main tebakan hikmah bersama ayahmu?”
Trap.
Hatiku langsung terpasung, mendengar pertanyaan dari hamdi barusan.
Karena yang tahu aku suka main tebakan hikmah hanyalah ayahku seorang,
tak ada yang lain. Tapi kenapa hamdi, sahabatku bisa mengetahuinya?
Sekelumit tanya bergelayut padanya.
“Iya, aku suka.
Bahkan sangat suka. Dari mana kau tahu, bahwa aku suka tebakkan hikmah
bersama ayahku?” hamdi hanya diam. Tak ada reaksi apapun darinya.
“Kalau menurutmu hal apa yang paling dekat dengan diri kita di dunia ini?”
“Kedua orang tua. Ayah dan ibu.” Jawabku, tapi hamdi diam.
“Guru dan kawan dekat.” Kembali dia diam. Aku melipat dahi.
“Semua
jawabanmu itu benar, tetapi ada yang paling dekat dengan kita adalah
Mati. Sebab itu janji Allah, bahwa setiap yang bernyawa pasti akan mati.
Hal itu tersurat dalam Ali-Imran ayat 185.
Sekarang
giliranku yang bertebak hikmah. “Menurutmu, apa yang paling jauh dari
kita di dunia ini?” tanyaku pada hamdi. Aku merasa menang, karena hamdi
pasti tak bisa menjawab, karena pertanyaan itu pernah terlontar dari
ayahku, dan aku pun gelegapan tak bisa menjawab.
“Hal
yang paling jauh adalah Masa Lalu. Bagaimanapun kita, apapun kendaraan
kita, tetap kita tidak akan dapat kembali ke masa yang lalu. Oleh sebab
itu kita harus menjaga hari ini, hari esok dan hari-hari yang akan
datang dengan perbuatan yang sesuai dengan ajaran Agama.” jawabnya
begitu mantap.
“Haaah!? Dari mana kau tahu jawaban
itu?” tanyaku menoleh ke arah hamdi, dan ternyata orang yang disampingku
bukanlah hamdi, dia AYAHKU!
Aku kaget bukan main, dan
langsung kupeluk orang yang ada disampingku sambil berteriak.
“Ayaaaahhhhh!” dan tiba-tiba. . . Bruk! Aku tersungkur, terjatuh dari
tempat tidur. “Astaghfirullah, ternyata hanya mimpi! Tapi kok rasanya
seperti sungguhan?” gumamku gusar bercampur kesal. Mataku melirik kearah
jam dinding kamar, jarum jam berhenti diangka dua.
“Mungkin
ayah ingin membangunkanku agar segera shalat tahajud. Untuk membalas
kembali tebakkan hikmah lewat lantunan do’a untuknya.” Akulangsung
bergegas bangun menuju kamar mandi mengambil air wudlu.
30
menit kemudian. Setelah shalat tahajud dilengkapi witir danzikir, aku
balas tebakkan hikmah untuk ayahku tercinta di alam sana.
“Wahai
Ayah. Terimakasih karena Kau telah ajarkan aku tentang kebaikan. Kau
tunjukan aku tentang arti cinta. Kau jelaskan aku tentang makna
kehidupan. Dan kau didik aku dengan sungguh bertala kasih sayang.
Wahai
Ayah. Betapa mulianya hatimu. Kau korbankan segalanya demi anakmu. Kau
banting tulang hanya untuk anakmu. Kini, aku berjanji untuk semua kerja
kerasmu. Aku berjanji untuk semua kasih sayangmu. Dan aku berjanji untuk
ketulusan hatimu. Bahwa aku akan selalu melantunankan do’a untukmu.
Serta menjaga amanah yang kau pikulkan padaku, menjaga ibu.
Wahai
Ayah. Walau jarak dan alam memisahkan kita, namun semangat dan energi
cintamu masih membara dalam relung hatiku. Lantunan nasihatmu masih
menggema dalam peredaran otakku. Sampai hal itu terbawa ke dalam alam
mimpi. Sukmamu masih bersemayam dalam selaput ingatanku, sehingga aku
bingung tak bisa membedakan mana alam sadar dan mana alam kapar.
Wahai
Ayah. Masih kuingat tentang bagaimana kau tunjukkanku cara mengikat
tali sepatu, bagaimana diriku yang selalu salah dan membuatmu lelah
selalu. Tak peduli bagaimana ku letih dan jenuh, guraumu membuatku paham
arti sabar menjalani segala sesuatu dengan tulus apapun itu.
Wahai
Ayah. Masih kuingat tentang bagaimana kau ajarkanku mengayuh sepeda,
bagaimana aku yang selalu goyah dan jatuh kan terluka. Tak peduli
seperti apa ku menangis dan bermanja, perhatianmu membuatku paham arti
tertatih menuju bahagia dan menjaga diri ketika kelak dewasa.
Wahai
Ayah. Masih kuingat ketika kau lukiskan perangai Muhammad kepadaku,
yang membuat hati ini selalu rindu. Ketika kau ajarkanku Iqra', yang
membuat ucapan ini tak pernah mengeluh. Ketika kau peluk aku, dan ku
juga memelukmu.
Wahai Ayah. Caramu
berbeda tak seperti ayah mereka itu, kau tuntun aku keras untuk mengenal
si lembut. Kau bimbing aku lantang menantang maut dan pantang berlutut,
kau tinggalkanku sendiri agar manja tak lama terpaut, kau tuntun aku
kuat hingga lemah pun takut.
Wahai Ayah. Halusmu... Candamu... Tegasmu... Semua demi aku yang sampai kini masih tak berguna.
Wahai Ayah. Hangatmu... Suaramu... Tegarmu... Segala demi aku yang hingga kini masih bermanja.
Ketika
sedih menghampiriku dulu, kau pun perih menahan sembiluh. Berjalan di
antara hujan menahan dingin angin denganmu, apapun kau lakukan demi
senyum dan tawaku.
Masihkah kau
ingat yah. Bagaimana kita menghabiskan hari dengan bersuka cita,
melempar tawa di bawah langit senja, di sawah dekat waduk cilimus? Di
sana Kau mengajarkanku makna perjuangan. Makna hidup susah. Makna
dianggap hina oleh makhluk dungu bernama manusia. Aku rindu senja itu
yah. Senja bersamamu.
Wahai Ayah. Namun, tak ada hal yang bisa ku lakukan saat ini, selain do'a dan lantunan Qur'an untukmu dari hati.
Kaulah
yang ketiga setelah ibu dalam suara Nabi Mulia, namun tanpa tanganmu
para Mujahid dan Syuhada takkan ada. Dari sosok seorang lelaki kuat para
Ayah'lah mereka tercipta.
Wahai Ayah. Dari sosokmu aku lebih mengenal dunia dan dengan wajahmu, aku melihat surga.
Ayahanda.
Kusedih melihat ibu letih dan lemah, hatiku gerimis menatap pandangan
kosong ketika ibu menata gambarmu di atas meja, jiwaku pecah ketika ibu
mendoakanmu dengan air mata yang berjatuhan di atas sejadah.
Wahai
Ayah. Inilah balasan dari tebakan hikmah dariku. Semoga Kau tenang di
surga sana. Dari Fahrul, anakmu yang banyak dosa dan durhaka.
Setelah
aku melantunkan balasan hikmah untuk ayahku. Aku ambil album foto
kecilku bersama ayah, lantas kukecup begitu mesra. “Yah, kapan kita
bermain kembali dan berlempar hikmah di bawah langit senja? Yah, Aku
rindu padamu dan aku pun merindukan senja bersamamu. Wahai Pencipta
senja, sampaikan alunan rinduku pada makhluk-Mu yang bernama Ayah. Alm.
Saleh bin Haji Yunus.”
“Semoga Allah merangkul do'amu, nak" timpal ibuku dari belakang sambil memelukku erat dan mencengkeramku dengan airmata.
>>> Mohon kritik dan sarannya yang membangun dari temen-temen. Syukron :)
Salam cinta sejuta rindu, @ucu_supriadi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar