Index Labels

Cerpen Inspiratif: Lukisan Cinta Terbingkai Gerhana

Posted by Ucu Supriadi
Wajah langit memudarkan pesonanya. Tirai biru perlahan mencumbui pagi, mengajak mentari beranjak terang. Disambut dengan nyanyian merdu dari burung camar, dibasuh dengan embun pagi yang menyegarkan.

Hari ini, aku berencana akan mencari ibuku bersama randi. Tidak peduli apa hasilnya, yang terpenting usaha telah kutunaikan dan kumaksimalkan. Bukankah usaha maksimal tidak akan mengkhianati?

Segala perlengkapan telah siap, walaupun seadanya. Randi pun sudah berdiri tegap di sampingku, menantang mentari yang menatap tajam padanya. Aku pun begitu.

Kubiarkan beberapa detik wajahku dicumbu mentari pagi. Kelopak mata kubiarkan terpicing menikmati cumbuan darinya. Hangat, begitu hangat yang kurasa. Menyetrum sel-sel kerja otak dan badanku. Kulihat randi pun mengikutiku. Dia memicingkan mata, lantas mengusap-usap wajahnya beberapa kali. Setelahnya, kutempelkan tanganku pada pundak Randi, “Ayo!” Randi mengangguk tanda paham.

Trap! Perjalanan panjang mencari sayap suciku akan dimulai. Ibu, di manapun engkau berada, izinkan aku melihat wajahmu walau sekejap. Aku menoleh ke belakang. Aceh, terimakasih kau telah sudi menampung kami, khususnya aku dan randi. Selamat tinggal kota serambi mekkah, tanah rencong yang tehimpun sejuta malaikat di dalamnya, semoga Allah menaungimu dengan kesejahteraan dan kedamaian. Salam cinta dan rinduku untuk pendudukmu. 

Untuk saudaraku rohingya, bersabar dan bertawakallah. Sungguh! Allah senantiasa hadir, dalam hati hamba-hambanya yang sabar lagi tawakal. Semoga Indonesia masih berbaik hati mengontrakkan wilayahnya pada kita, kalian saudaraku. Terlebih lusa kita akan dijumpakan dengan tamu agung, ramadhan. Tetap jaga kesehatan dan puasa ya. Semoga Allah menyelimuti hati kalian dengan hias taqwa dan keistiqomahan. Semoga pula, di hari kemenangan nanti, Allah jumpakan kita lagi, dalam keadaan lebih baik dan berbahagia.

Bruk. Aku tersungkur di bawah bentangan langit pagi. Satu tetes, dua tetes air mataku kian mengalir deras. Randi ikut duduk, lantas mengusap rinai di mataku. “Cukup! Ayo kita teruskan langkah!” Randi menopang badanku untuk berdiri. Aku berusaha bangkit, tapi badanku seakan mengkhianatiku.
“Sudah kita pulang saja! Jika kau lemah seperti ini.” Ucap randi melepas topangannya.

“Tidak! Aku tidak lemah, randi. Aku hanya mengkhawatirkan saudara kita, rohingya. Aku khawatir, jikalau mereka tiba-tiba diusir oleh Indonesia untuk dipulangkan kembali ke Myanmar.”

“Jika itu terjadi, berarti sila kedua yang menjadi panca mereka, hanyalah omong kosong belaka! Tenang randi, kita masih punya Allah untuk tempat bergantung. Bukankah kata kau, hanya Allah-lah sebaik-baiknya tempat bergantung? Kita titipkan semuanya pada Allah. Mereka milik Allah, maka tepat sekali, jika kita titipkan mereka pada Allah. Bukankah begitu, nuril?” Aku mengangguk, tersenyum menimpali.

“Kau memang sahabatku, randi. Kau lebih dewasa dariku.” Randi hanya tersenyum. Dan kami kembali meneruskan langkah.

******

Waktu terus berlari cepat, ia berhenti di 21.00. Langit khatulistiwa kini berganti tirai menjadi hitam total, bernoktahkan bintang-gemintang.

“Kita sekarang mau ke mana, randi? Kita hampir seharian perjalanan. Perbekalan kita pun sudah habis. Terlebih ongkos untuk kendaraan hanya cukup sekali jalan.”

“Yang jelas, sekarang kita shalat isya dulu, ril. Semoga setelah shalat isya, otak kita bisa jernih, hati menjadi tenang dan Allah bukakan tabir di mana ibumu berada.” Aku mengangguk pelan.

Kami melangkah menuju Masjid Baiturrahman, masjid kebanggaan warga aceh. Dan simbol mahligai kekuatan, karena ia tetap kokoh berdiri walau diterjang tsunami yang amat dahsyat, pada tahun 2004 silam.

Setelah selesai shalat. Aku pamit sebentar ke seberang jalan, mau membeli air mineral. Randi kutinggal di dalam masjid, ia menuntaskan tilawahnya.
Setelah air mineral sudah kubeli, aku mendengar jerit tolong bercampur tangisan terdengar jelas dari arah pojok jalan. Aku tersentak!

“Toloooong…. Tolooooong! Jangan! Jangan! Tidak mau!” 

Sontak, Aku langsung lekas berlari sekencang mungkin menuju pojok jalan yang cukup gelap-gulita itu. Alangkah kagetnya. Di arah pojok jalan itu, aku melihat sesosok perempuan tengah bergelut melawan seorang lelaki keriting bertubuh ceking yang hendak menodai kehormatannya. Perempuan tersebut meronta ronta sekuat-kuatnya. Kedua kakinya begitu keras menendang nendang. Aku lihat, kerudung hitamnya sudah tidak sempurna lagi menutupi kepalanya.

Aku melihat pula perempuan itu mati-matian mempertahankan jilbabnya yang hitam pekat, yang hendak dilepas paksa. Melihat kemungkaran itu emosiku tidak tertahankan lagi. Darahku mendidih. Mataku menggelegar laksana petir. Aku langsung mengaung-membentak dengan sekeras-kerasnya, 

"Hai bajingan, brengsek! Berhenti kau! Kurang ajar!" ucapku sangar kemudian aku langsung melompat menendang lelaki itu, tepat saat lelaki itu kaget dan menoleh ke arahku. Tendangan itu mengenai muka lelaki ceking-keriting itu. Tepat di matanya. Tak ayal tubuh lelaki ceking-keriting itu terpelanting dari atas tubuh si perempuan. Si Perempuan tersebut langsung bangkit dan lari ke arahku lalu mendekapku begitu erat.

“Aku takut. Aku takut. Tolong aku.” lirih si Perempuan begitu bergetar ketakutan.

“Menyingkirlah dulu dari tubuhku!” perintahku pada si Perempuan. Si perempuan pun melepaskan dekapannya.

“Bangsat, keparat! Siapa kau berani mencampuri urusanku!” laknat lelaki itu berdiri dengan amarah yang menggejolak menggurati wajah dan badannya. 

Ia memegangi matanya yang terasa sakit. Aku tidak gentar. Aku pernah dikeroyok oleh preman di kotaku, arakan. Dan aku tidak sekarat meskipun saat itu tidak bisa dikatakan aku menang atau kalah. Yang jelas aku tidak sekarat. 

Aku balik melaknat. “Justru seharusnya Aku yang harus bertanya. Siapa kau bajingan alas! Berani kurang ajar sama saudariku ini!”

“Apa? Ia saudarimu! dasar penjahat. Rupanya kau mau membodohiku. Ketahuilah, aku adalah Faruq, calon suami haura yang sah. Aku ingin mengajaknya bercinta!”

“Dasar lelaki pengecut! Kau bukan calon suamiku!” teriak perempuan di sampingku.

"Tutup mulutmu perempuan sundal! Mau tidak mau kau tetap calon istriku! Kau lupa, kita sudah ta’aruf. Dan Kau Bocah tengik! Jangan ikut campur urusan percintaan orang lain ya! Atau...."

"Atau apa? Aneh, akhlakmu tak seindah namamu. Kau dan haura bukan siapa-siapa. Hanya baru ta’aruf! Dan haura boleh membatalkan proses ta’aruf tersebut. Islam membolehkan itu.”

“Kau boleh bawa haura ke mana saja, asal Kau bisa melangkahi mayatku!" 

"Kurang ajar!" Lelaki ceking-keriting itu mengayunkan pukulan tangannya dengan sekuat tenaga. Jika pukulan itu mengenai dadaku, bisa jadi dada tipisku akan rontok ditambah dengan kondisiku yang belum stabil. Tapi aku sudah dibekali ayahku jurus-jurus silat.

Aku masih ingat, bahwa aku pernah berkelahi dengan preman-preman di arakan dengan hati tenang dan jiwa yang mengelit sambil menyarangkan tendangan ke perut preman-preman arakan.

Dan Aku kembali bersyukur, karena kejadian indah itu menimpa Faruq, akibatnya ia pun tersungkur ke atas tanah. Namun, Emosinya malah semakin menggeliat. 

"Setan alas!" Ia langsung mengambil kayu besar yang kering dan mengayunkannya ke kepalaku. Aku menghindar. Faruq terus mengincar. Ia terus mengayunkan kayu besar itu, lantas aku tangkis dengan kedua botol air mineral. Satu sabetan Faruq mengenai pelipisku. Aku langsung berdarah.

Disamping kanan jalan, Haura terus menjerit minta tolong. Randi sedetik tersadar, namun ia kembali melanjutkan tilawahnya.

Aku berusaha tetap tenang. Aku mencopot sandal yang aku rasa mengganggu gerakanku. Aku mencari peluang untuk menyarangkan serangan yang telak ke badannya Faruq. Faruq terus mengincarku dengan ganas, laksana buaya melihat mangsa.

Melihat darah mengalir di pelipisku, Haura semakin panik meminta bantuan, tetapi semangat Faruq untuk membunuhku semakin memuncak. Pada saat Faruq merasa bisa menghantamku dengan kayu besar, Ia langsung mengulanginya dan mengerahkan segenap tenaganya. Sabetan itu Ia layangkan kebawah dan sangat keras, hampir menghantam kakiku, dengan gesit aku mengelak.

Ketika Faruq tidak tegak menapak bumi, Aku pun tidak menyia-nyiakan kesempatan indah itu, aku langsung menjatuhkan diri ke lantai. Lalu aku melakukan tendangan memutar sekeras-kerasnya ke arah kemaluan Faruq. Tendangan itu sangat cepat, akurat dan tepat. 

Tendangan itu yang tak lain adalah jurus buaya mengibaskan ekor yang pernah aku pelajari dari ayahku, satu bulan sebelum ayahku meninggal.
Kekuatan yang digunakan menyerang dalam tendangan itu adalah kekuatan putaran kaki dan senjata untuk melakukan serangan adalah kerasnya tumit kaki. 

Tendanganku sangat keras. Akibatnya... "Plakk!" Tendanganku tepat mengenai sasaran. Tumitnya menghantam kemaluan Faruq dengan sekeras kerasnya. 

Faruq langsung terjengkang dan meraung kesakitan. Kayu Besar yang kering itu terlepas dari tangan Faruq. Aku tidak mau membuang kesempatan. Aku langsung menyarangkan tendangan keras ke rahang Faruq. Faruq kembali meraung sakit. Ia berusaha bangkit. Namun Aku langsung memukulnya dengan batu yang cukup besar. Aku pegang batu itu dengan kedua tanganku. 

Faruq kembali merintih kesakitan sambil mengucapkan kata-kata kotor. Aku melihat kayu besar yang tengah tergolek. Aku angkat kayu itu, belum aku tumpukkan ke muka Faruq. Mukanya langsung memasi, memelas. Seketika itu Faruq mengaum minta ampun dan lari terbirit-birit meninggalkan Aku dan haura.

“Subhanallah. Luar biasa kau Nuril. Aku acungi dua jempol buatmu!” ucap randi yang tersihir dengan keberanianku. Ia mendekat ke arahku lantas memelukku, “kau tidak apa-apa kan?”

“Aku sedikit lecet di pelipisku. Nanti juga kering sendiri, kawan.” Timpalku padanya. Ia melepaskan pelukannya.

Haura mendekat ke arahku. “tuan tidak apa-apa?”

Sejenak mata kami beradu. “Subhanallah” gumamku mengagumi keelokan wajahnya. Astaghfirullah, seketika langsung kupalingkan pandanganku.

“Alhamdulillah, saya tidak apa-apa. Hanya luka ringan. Sekarang, tolong anda bergegas ke arah toilet Masjid untuk merapikan pakaian anda!" saranku kemudian. 

Haura menghentikan isakannya. la jatuhkan pandangan dan melihat tubuhnya sendiri. Barulah ia menyadari kerudungnya tidak sempurna menutupi kepala, dan jilbabnya pun terlihat kusut.

Ia tidak menyadari hal itu sebelumnya, karena ketegangan dan ketakutan luar biasa menyelimuti alam bawah sadarnya. Begitu telah sadar, muka dan perasaannya berubah, lantas ia berujar, “terimakasih saya ucapkan. Semoga Allah melindungi dan merestui hajat tuan berdua.” Haura berlari kencang, dengan berhias pipi yang kemerah-merahan, pertanda ia malu yang amat sangat.

Aku menarik nafas dalam-dalam. Aku memejamkan kedua mataku. Aku tak membayangkan akan pernah berkelahi dengan penjahat yang hendak memperkosa seorang muslimah yang taat dalam beragama. Dan yang aku herankan, kenapa si faruq begitu berhasrat ingin menodai Haura? Padahal dia sudah berta’aruf dengannya? Ah, biarlah waktu yang akan menjawab semuanya.

Ketika kaki hendak melangkah, tiba-tiba, “Tunggu dulu, tuan! Tunggu dulu!” teriak haura menghentikan langkah kami.

Kami pun terhenti. “Ada apa ya? Ada yang bisa kami bantu lagi?” ucapku spontan.

“Sebagai bentuk balas budi, karena tuan berhasil menyelematkan kehormatanku. Aku berniat mengajak tuan berdua singgah ke rumahku. Pasti tuan berdua lapar? Iya kan? Dan tidak ada salahnya jika tuan berdua bersilaturahim bersama keluargaku. Nanti akan kukenalkan juga dengan ayah, ibu dan adikku yang tak kalah hebat dengan tuan. Gimana?” aku memandang randi, randi mengernyitkan dahi.

“Insya Allah, nanti akan aku jelaskan juga kronologis kenapa faruq bisa bertaaruf denganku, dan begitu berhasrat ingin menodaiku?” Randi mengerdipkan mata, pertanda terima saja.

“Iya, Insya Allah, kami mau. Tapi pagi-pagi buta kami langsung pamit pulang, karena kami akan meneruskan perjalanan kami.”

“Baik. Silakan. O ya, kita belum kenalan sebelumnya. Perkenalkan, nama saya, Haura Latifannisa. Panggil saja, haura. Kalau tuan?” ucapnya memperkenalkan nama, sembari tangannya ia tangkupkan

Aku menunjuk dada “Aku?”

“Iya, tuan.”

“Saya, Nuril As-Syakandari, panggil saja Nuril. Dan ini sahabatku, Randi Firmansyah, panggil saja randi.” Randi menyenggol badanku. Sepertinya ia protes, karena tidak ia sendiri yang menyebutkan namanya. Haura tersenyum kecil melihat tingkah kocak yang dimainkan randi.

Kami pun berjalan melewati gang kecil, dan tak kurang dari 20 menit, kami sampai ke tujuan.

“Ini rumahku, tuan.” Ucap haura sembari mengetuk pintu, “Assalamu’alaikum, dek, ini kakak datang.”

“Wa’alaikumussalam, Iya kak, bentar.” Timpal orang yang ada di dalam rumah, kemungkinan itu adiknya haura.

Pintu dibuka. Adiknya begitu takzim mencium tangan kakaknya. “Silakan masuk, maaf rumahnya tidak mewah, seadanya.” Haura mempersilakan aku dan randi untuk masuk.

Kami melangkah masuk. “Tadi di jalan kau cerita, katanya di rumah ini ada empat orang. Kau, Adikmu dan Kedua orang tuamu. Kalau kedua orang tuamu sekarang lagi di mana?” ucapku spontan.

Adik haura langsung menatap penuh arti pada kakaknya. Haura terdiam, dengan terbata ia mencoba menjawab, “Ibuku, di. . di. . dia sedang ada di rumah sakit. Ibuku punya penyakit ataxia, tuan. Dokter menperkirakan usia ibuku tidak bertahan lama. Ayahku pasti lagi menjaga ibu.”
“Ataxia?!” heran kami bersamaan, randi langsung melirik ke arahku. “Usia seseorang, hanya Allah yang bisa menentukan. Bukan dokter!” sambungku penuh kegeraman.

“Ataxia? Bisakah nona jelaskan apa itu penyakit ataxia? Maaf bila lancang?” Randi mencoba menetralkan keadaan.

“Tidak apa-apa. Tapi, sebentar. Dek, tolong buatkan air minum beserta jamuannya, buat kakak dan kedua tamu Allah ini.” Perintah haura pada adiknya. Adiknya mengangguk dan bergegas menuju dapur. 

“Silakan duduk, tuan.”

Kami bertiga duduk. Haura langsung memulai pembicaraan. “ataxia adalah jenis penyakit yang menyerang otak kecil dan tulang belakang. Ia akan menyebabkan gangguan pada syaraf motorik. Penderita akan kehilangan kendali terhadap syaraf-syaraf motoriknya secara bertahap dan makin lama kondisi fisiknya akan makin parah! Awalnya mungkin penderita hanya akan merasa gontai saat berjalan, lalu penderita akan sering terjatuh, tidak bisa menggapai barang dalam jarak dekat, penderita ingin bergerak dan bicara tapi tubuhnya seakan mengkhianatinya, tapi penderita tidak hilang kecerdasannya dan tetap mengerti akan keadaannya. Penyakit ini amat sangat serius!

Yang berbahaya dari penyakit ini adalah saat sedang makan!, bisa saja penderita tersedak secara tiba-tiba, dan bila tidak mendapatkan penanganan lanjut, itu akan menghambat jalur pernapasannya dan mengakibatkan kematian. Sampai saat ini belum ada pengobatan yang efektif untuk menyembuhkan penyakit ini secara tuntas. Tapi. . .” haura menggantungkan kalimatnya.

“Silakan diminum dan dicicipi makanannya, tuan.” Tawar adik haura disela-sela percakapan. Setelahnya, adiknya masuk ke kamar, mengerjakan tugas sekolah yang belum selesai.

“Tapi apa nona? Lanjutkan!” serobot randi menghempas ketegunan.

“Baik. Menurutku, faktor determinan yang menyebabkan ibuku terkena penyakit Ataxia adalah karena dia pernah mentransplantasikan sumsum tulangnya pada seseorang, katanya korban terdampar dari rohingya.”

“Apaaaa!!!??” Gelas di genggamanku terlepas menghempas lantai. Pecah seketika. Mataku kaku, tak bisa berkedip. Randi terus mengusap-usap punggungku, menenangkan.

“Ada apa dengan tuan? Ada yang salah dengan ucapanku?” kepala haura dipenuhi tanda tanya atas sikapku barusan.

“Tidak, tidak ada yang salah dengan ucapanmu. Bolehkah aku jumpakan dengan ibumu?”

“Sekarang sudah larut malam, tuan. Tidak baik pergi ke sana. Pasti ibuku sedang istirahat. Lagipula ada ayahku yang menjaganya. Insya Allah, besok, kita ke sana. Gimana?”

Aku masih serupa sano. Randi mengangguk, tanda setuju. “Iya, nona benar. Besok saja kita ke sananya. Mungkin sahabatku lelah, dia perlu istirahat.” 

Haura menunjukan kamar untuk kami. Di dalam rumahnya terdapat tiga kamar, dan kami disuruh untuk menempati kamar milik kedua orang tuanya. Namun dengan tegas aku tolak.

“Biarkan kami tidur di luar saja, nona. Takut ada finah!” haura mengangguk paham. Kami pun keluar menggelar tikar yang diberikannya. Pintu rumah ditutup, lampu rumah dimatikan. Kami pun tidur secara perlahan. Malam, kini menjadi saksi, betapa agungnya cinta yang dinoktahkan sang ibu pada langit hati anak-anaknya. Ibu, sungguh! Aku rindu kepadamu. Adakah kau mendengarnya?

*****

Pagi kembali menyapa. Fajar kembali merekah. Azan subuh memantul dari masjid ke masjid. Mengundang jiwa lalai untuk bangkit memenuhi seruan mulia penuh kemenangan. Hayya ‘alashshalah, hayya ‘alal falaah. Mari menengakkan shalat. Mari menuju kemenangan.

Insan pecundang akan tuli dengan seruan tersebut. Karena telinganya ditutupi tirai noda berlapis keangkuhan. Aku bangkit, membangunkan randi yang masih menikmati alunan fatamorgana dalam mimpinya. Setelah randi terbangun, kulihat lampu dalam rumah haura sudah terang. Kuajak randi untuk menunaikan shalat subuh secara berjamaah di mushala dekat rumah haura. Ternyata mushalanya sepi dan tidak ada yang azan. Terpaksa, aku keluarkan suara emasku untuk membangunkan insan yang tengah terlelap.

Setelah azan dan iqomat dikumandangkan, dan shalat subuh pun telah ditegakkan. Selanjutnya kami bermunajat, yang dipimpin oleh randi.

“Dengan menyebut Asma-Mu yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Duhai Rabb yang maha mendengar, duhai Rabb yang maha mengetahui, duhai Rabb yang maha melihat. 

Kami, Hamba-hamba-Mu yang hina lagi dina ini bersimpuh di hadapanmu yang Maha Tinggi lagi Maha Mulia. Kami hanyalah sebutir pasir di gurun-Mu yang luas, Kami hanyalah setetes embun di lautan-Mu yang meluap hingga ke seluruh daratan samudera, Kami hanya sepotong rumput di padang-Mu yang memenuhi bumi, Kami hanya sebutir kerikil di gunung-Mu yang menjulang mencakar langit, Kami hanya seonggok bintang kecil yang redup di samudra langit-Mu yang tanpa batas.

Duhai Rabb yang maha pengampun lagi Maha penerima taubat. Kami yang hina ini penuh dengan lumpur kenistaan menyadari tiada artinya diri ini di hadapan-Mu. Tiada Engkau sedikitpun memerlukan Kami, akan tetapi Kami terus menggantungkan segunung harapan pada-Mu.

Ya Rabb, baktiku tiada arti, ibadahku hanya sepercik air. Bagaimana mungkin sepercik air itu dapat memadamkan api neraka-Mu! Kami sadar Ya Allah, Kami tak layak menyandang gelar Ahli Surga, namun Kami pun menyadari, Kami tidak sanggup menahan siksa Neraka yang begitu pedih dan perih.

Sungguh Ya Rabb, betapa Kami telah sadar diri, begitu hina Kami dihadapan-Mu. Maka, jangan pula Engkau jadikan Kami hina dihadapan makhluk-Mu.
Dengan Mata titipan-Mu ini, mata ini senantiasa Kami gunakan untuk melihat sesuatu yang Engkau Haramkan, selalu Kami gunakan untuk memandang rendah orang lain, jarang sekali mata ini menangis karena takut karena-Mu, menangis karena teringat dosa yang begitu banyak bagaikan debu. Maka dari itu Ya Allah, Hijablah pandangan Kami dari hal-hal yang menjadikan Kami lalai akan mengingat-Mu.”

Aku dari belakang, begitu Khusyuk mengamini do’a yang dipanjatkan randi. Air mata pun tak bisa dibendung, mengalir membanjiri munajat subuh kami.
“Dengan Mulut titipan-Mu ini, Mulut ini senantiasa Kami gunakan untuk berbicara sesuatu yang Engkau Haramkan, selalu Kami gunakan untuk berkilah atas kedustaan yang kami tutup-tutupi, membicarakan aib orang lain, mengumpat, mencela serta menghardik mereka, sehingga Kami tidak tahu berapa banyak orang yang hatinya telah tercabik-cabik oleh Mulut ini. Entah berapa banyak Amanah demi amanah yang telah Kami Khianati. Berapa banyak Janji demi janji yang telah Kami Ingkari. Maka dari itu ya Allah, Bimbinglah mulut Kami dari hal-hal yang menjadikan-Mu murka pada Kami, agar Kami bisa menjadi perantara hidayah-Mu melalui lisan ini. Menjadi penyeru-Mu, sehingga kebaikan, nasehat dan Ilmulah yang hanya terlontar dari Mulut ini.”
“Aamiin ya Allah. . .” lirihku mengiringi.

“Dengan Hidung dan Telinga titipan-Mu ini, Hidung dan Telinga ini senantiasa Kami gunakan untuk mencium sesuatu yang Engkau Haramkan, selalu Kami gunakan untuk menguping kedustaan demi kedustaan, mendengarkan aib-aib serta kejelekan-kejelekkan orang lain. Maka dari itu ya Allah, tutuplah serapat-rapatnya Hidung dan telinga Kami dari aroma dan suara-suara yang menjadikan Iman Kami hitam pekat, melemahkan semangat Ibadah Kami, mematikan kejuhudan Kami dalam mengabdi pada-Mu, serta bukakanlah selebar-lebarnya hidung dan telinga Kami jikalau itu mendatangkan secercah kebaikan, sebuah nasehat, seterang ilmu dari-Mu.

Ya Allah, Dengan Tangan dan Kaki titipan-Mu ini, Tangan dan Kaki ini senantiasa Kami gunakan untuk memegang, meraba sesuatu yang Engkau Haramkan, selalu Kami gunakan untuk mencuri, meminta belas kasih orang lain tanpa pernah terbesit sedikitpun hasrat untuk memberi. Selalu Kami langkahkan kaki ini untuk menelusuri jalan kesesatan tanpa pernah meminta petunjuk dari-Mu, tidak pernah bersusah payah untuk berjalan menuju taman-taman Surga, majelis Dzikir, Majelis Ilmu, terutama ke tempat suci-Mu. Maka dari itu ya Allah, bimbinglah gerak tangan dan langkah Kaki Kami, agar senatiasa ingin memberi, selalu melangkah menuju tempat yang Engkau Ridhai.

Ya Allah, Rabb semesta Alam. Dengan pikiran dan Hati titipan-Mu ini, selalu Kami mengotorinya oleh noda-noda Maksiyat karena memikirkan, membayangkan dan berhasrat sesuatu yang Engkau benci dan laknati. Setiap hari, setiap saat, Hati ini semakin berkarat dan terus membusuk, karena penyakit-penyakit yang ada dalam Hati Kami terus menggerogoti. Ya Allah hilangkan satu persatu penyakit-penyakit yang ada dalam hati Kami. Satu hari satu penyakit ya Allah. Agar hati Kami tidak semakin berkarat dan membusuk. Bersihkan Hati Kami seperti halnya Kami yang baru lahir Ya Allah, yang bersih tanpa noda.

Mungkinkah Kami yang hina ini menatap wajah-Mu yang mulia??? Rabb Kami semua fakir di hadapan-Mu tapi juga kikir dalam mengabdi kepada-Mu. Semua makhluk-Mu bertasbih dan meminta kepada-Mu dan pinta Kami, Ampunilah Kami dan saudara-saudara Kami, muslim rohingya, yang menjadi korban kebiadaban musuh-musuhMu.

Ya Allah, mudahkanlah urusan kami. Jumpakan kami dengan hajat yang kami inginkan. Engkaulah sebaik-baiknya tempat bergantung dan pelindung. Hamba titipkan harapan ini pada-Mu. Selamatkan ibu nuril, kapanpun, di manapun dan dengan siapapun. Allahumma Aamiin ya Rabbal ‘alamiin.”

Setelah munajat kami panjatkan. Air mata kami seka. Kami akhiri dengan tilawah membaca surat al-mulk dan al-matsurat. 

*****

“Ayo, ran. Pasti haura tengah menunggu kita, hari mulai terang. Jam tujuh tepat kita berangkat ke rumah sakit, di mana ibunya haura tengah dirawat.” Randi bangun dan kami keluar meninggalkan mushala al-ikhlas. Pintu dan gerbang mushalla kami tutup rapat. Langkah kami secara pasti menjauh dari arah mushala.

Waktu menunjukan pukul 06.00. Haura dan adiknya tengah duduk, bersantap sarapan pagi. Kami dipersilakan makan, namun aku menolak, dan pada akhirnya lagi-lagi randi yang menggagalkan kejaimanku. Kami pun makan dengan lahap walau menu ala kadarnya, nasi yang didampingi tempe dan sambal. Namun sungguh rasanya amat enak dan lezat. Dalam hati aku memuji kecerdasan haura dalam meracik makanan yang tampak sederhana. Sungguh beruntung laki-laki yang kelak bisa bersanding dengannya. Ah, pikirku melantur saat itu.

Adik haura pamit untuk pergi ke sekolah SMA. Dia masih duduk di bangku kelas sepuluh. Kulihat sang kakak tidak memberinya uang jajan, hanya memberinya seuntai do’a, “semoga ilmu naura berkah, otak naura diencerkan, pikiran naura dilapangkan, dan hati naura dibersihkan. Jaga baik-baik ya, laporkan ke kakak kalau ada laki-laki yang macam-macam padamu.”
Sungguh pemandangan yang menurutku menakjubkan. Memang benar, keluarga ini adalah keluarga yang harmonis, karena tiada hujatan di dalamnya.

Jam 07.00 pagi kami berangkat menuju rumah sakit pangeran hasanudin. Selang 30 menit, kami sampai pada tujuan. Lagi-lagi haura yang membuat budi, membiayai ongkos kendaraan dari rumahnya sampai rumah sakit. Hanya ucapan terimakasih yang kami lontarkan padanya.

Di ruang 07 sukma melati, kami masuk, karena sang dokter sudah mengizinkan kami untuk membesuk ibu haura. Kulihat ayah Haura tampak tidak ada, sepertinya ia sedang keluar ruangan.
Ketika langkah menapaki ruangan 07 sukma melati. Sungguh! Langkahku mendadak terpaku. Lisanku kelu. Mataku sendu. Dan peredaran darahku hampir membeku. Ternyata orang yang rela mentransplantasikan sumsum tulangnya adalah IBUKU. Dialah misteri dari filsafat cintaku. Kulihat randi pun turut menangis, bahkan tersedu.

Ia mendekat ke arahku. “Maafkan aku Nuril. Jujur. Sebenarnya aku telah mengetahui semuanya. Namun aku didesak ibumu agar jangan membuka mulut padamu, perihal siapa gerangan yang begitu rela mentrasplantasikan sumsum tulangnya padamu.Saungguh! Aku didesak, maafkan aku, nuril, maafkan aku.”

“Cukup! Tidak ada yang salah padamu. Setidaknya, kini, luka dalam hatiku sedikit mengering dengan dipertemukannya diriku dengan ibuku. Walaupun ibuku dalam keadaan seperti ini.”

Haura tambah kebingungan dengan drama yang dilakonkan oleh aku dan randi. Melihat haura kebingungan, randi beranjak menjelaskan semuanya pada haura begitur runtut. Hampir 15 menit randi menjelaskan, dengan jarak yang membatasi. Kulihat haura sudah memahami fakta yang sebenarnya, dan randi pun memberitahu padaku bahwa haura bukanlah anak kandung ibunya yang sesungguhnya. Dia menemukan ibuku di samping jembatan, tengah ambruk tak sadarkan diri. Satu minggu setelahnya, saat ibuku berada di rumah haura, ayah haura jatuh hati pada ibuku, lantas menikahi ibuku dengan pernikahan sederhana. Dan setelah satu tahun berjalan, haura sudah menganggap ibuku seperti ibu kandungnya sendiri. Karena ibu kandungnya sudah meninggal saat dirinya berumur empat tahun.

Tanpa komando, Aku langsung duduk di kursi dekat ibuku berbaring. Mulutku tak jauh dari telinganya. Aku memanggil-manggil namanya. Menyuruhnya untuk membukakan mata. Aku bercerita dan lain sebagainya. Satu jam sudah aku berbicara tapi mata ibuku tak mau terbuka. Haura, ayahnya dan randi begitu teriris mendengar setiap cerita yang aku ajukan pada ibuku. Seperti ayahnya pun sudah memahami semuanya. Randi memang cerdas dalam mengubah keadaan. Baik keadaan lingkungan, maupun keadaan hati dan pikiran seseorang.

Dengan rasa gusar, randi mendekat dan memberikan sehelai kertas padaku. Kertasnya sudah kusam dan lusuh. Aku buka lipatan yang masih tertutup rapih dengan tali biru melingkarinya.
Kubaca secara perlahan:

Untuk Anakku, Nuril Asy-Syakandari,

Nak, saat di mana engkau membaca surat ini. Mohon jangan menangis dan kecewa atas perilaku ibu padamu. Jujur nak. Orang yang rela mentransplantasikan sumsum tulangnya adalah ibu. Ibu tidak tega melihatmu mati-matian berkutat dengan penyakit tulenmu. Ibu ingin melihatmu bahagia sama seperti anak-anak seusiamu, yang begitu asyik menikmati masa-masa mudanya.

Untuk Anakku, Nuril Asy-Syakandari,

Nak, maafkan ibu satu bulan sebelum muslim rohingya memutuskan pindah ke luar Myanmar, ibu lebih dulu meninggalkannya. Karena ibu sudah tidak sanggup lagi melihat kekejaman dan penindasan. Ibu butuh ketenangan dalam usia senja ibu. Namun takdir-Nya mempertemukan kita kembali, saat itu mendengar berita muslim rohingya mengungsi di daratan aceh, langsa. Ibu langsung pergi ke sana mencari sosok dirimu. Dan Alhamdulillah, kembali ibu panjatkan, ibu dipertemukan dengan randi, ibu lihat randi dalam keadaan gamang tengah mencari orang yang rela mentransplantasikan sumsum tulangnya untukmu. Dengan besar hati, ibu merelakan sumsum tulang ibu untukmu. Iklash, karena Allah semata.

Untuk Anakku, Nuril Asy-Syakandari,

Bila hatimu belum ada tambatan, ibu sudah mempunyai seseorang yang hatinya bersih bagai salju, perangainya indah bak permata. Tahukah nak, siapa yang ibu maksud?. . . . ..


Nantikan dalam episode lanjutannya. . . . Di part 2.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Hamba Allah yang fakir akan ilmu, miskin akan amal, dan lancang mengemis Ridha-Nya dengan maksiyat dan dosa. #NovelisMuda

Pujangga Belantara

Info Lomba Menulis

Follow Me