Index Labels

Senja di Matamu Episode 5

Posted by Ucu Supriadi
Akankah mereka sanggup... Saat Tuhan meneteskan air mata...

…Faidah masih dengan ketidakmengertiannya. Faidah tak sengaja menengadah ke atas, menakjubkan! Saat itu fenomena awan spiral terjadi di langit kejawanan. Faidah kelu tak bisa menjabarkan fenomena menakjubkan tersebut. Sebab fenomena awan spiral amatlah langka. Terakhir kali terjadi di Himalaya akhir tahun 2009.

Di langit kejawanan awan spiral itu kembali terjadi, sebuah cahaya biru naik ke langit, berhenti di tengah lalu meledak dan berubah menjadi spiral raksasa yang menyerupai efek gelombang kejut, seakan-akan sebuah portal menuju dimensi lain sedang terbuka lebar. 

Awalnya, sebuah cahaya biru terlihat naik. Cahaya itu putus di langit lalu mulai bersirkulasi dan meledak di udara. Dalam beberapa detik, sebuah spiral raksasa telah terlihat memenuhi langit kejawanan. Cahaya biru panjang itu terlihat selama sekitar 10 menit sebelum menghilang.

Beberapa detik kemudian, setelah awan spiral menghilang. Tiba-tiba mata vira bergerak. Faidah tersentak. Kalau mulutnya tidak langsung dibekap oleh dokter syam, pasti faidah akan menjerit histeris, saking kagetnya.

Di bawah langit senja, bibir faidah mendesir parau… “Nak, suatu saat, bila senja enggan terbit di petala langit. Izinkan langit terbitkan senja di matamu.”

Dan, keajaiban Tuhan hadir sore itu, di bawah langit senja, perlahan mata vira sesenti terbuka, bibirnya yang terkatup tiba-tiba berucap lirih, “Aaa… ayah…”

Mata faidah kembali tertohok. Apa yang ia lihat dan dengar seperti mimpi. Begitupun dengan dokter syam yang ada di sampingnya, mengalami perasaan yang sama.

Faidah menoleh ke arah dokter syam, memberi isyarat. Dokter syam paham, ia mengangguk. “Coba anda papah ia dengan bisikan lembut di telinganya.” Faidah mengangguk dan berjalan mendekati vira.

Dengan air mata yang berderai, Faidah jongkok dan berbisik di telinga vira. “Sayang… ini ibu, aaa.. ayah….” Faidah menggantungkan kalimatnya.

Suasana hening beberapa detik. Dokter syam mematung di belakang faidah, menyaksikan senja yang mulai tertelan langit.

“Aaa… ayah… ada di sini, nak.” Dokter syam tersentak atas apa yang dikatakan faidah barusan. Apa maksud dari perkataannya, “Ayah ada di sini, nak?”

Vira menoleh bersama tatapan kosongnya. “Iii.. ibu tiii.. tidak bohong?” kelu vira dengan intonasi suaranya yang belum jelas. Kepala faidah berat sekali untuk mengangguk. Mengiyakan pertanyaan anaknya barusan.

Faidah menoleh ke belakang. Ia terpejam dan berhembus cukup panjang. “Itu! Itu ayahmu sedang berdiri di belakang ibu.” Jawab faidah memutar kursi roda vira. Dokter syam benar-benar seperti disambar halilintar saat itu juga. Dokter syam tidak bergerak sesenti pun. Dia mematung serupa sano di hadapan kedua perempuan yang baru ia kenal tersebut. Ada ratusan tanda tanya menancap di atas kepalanya. Ia belum menangkap jelas atas kode yang diisyaratkan faidah kepadanya. “Apa maksudmu berbicara seperti itu, faidah? Apa?!!”

***

5 tahun berlalu. Putaran roda kehidupan Vira dan Faidah berubah total. Penyakit dystonia yang dialami Vira berangsur membaik melalui pertolongan dokter Syam, bahkan penyakit aneh yang menyerang selaput otaknya sudah sembuh. Hanya saja dokter syam mengingatkan, bahwa penyakit aneh vira suatu saat akan datang kembali, apabila pikirannya kembali kacau, apalagi kembali menderita kerinduan seperti kerinduan ia pada ayahnya. Vira harus mengistirahatkan pikirannya secara total dari hal-hal berat yang berpotensi menyerang selaput otaknya kembali. Akhirnya, saat itu faidah meminta cuti untuk anaknya selama satu semester dari sekolah.

Banyak kisah telah dilalui bersama, baik senyum maupun tangis. Dokter syam pun sudah melangsungkan pernikahan bersama faidah secara diam-diam, satu pekan setelah ia ditembak secara mendadak oleh faidah di pantai kejawanan. Pernikahan mereka tanpa diketahui banyak orang. Hanya beberapa sanak saudara yang mereka kabari. Mereka meminta pada sanak saudara yang diundang, untuk menutup mulut rapat-rapat tentang pernikahan mereka, apalagi sampai bocor ke telinga Vira. Namun faidah berjanji, suatu saat akan menceritakan yang sebenarnya pada vira di waktu yang tepat.

Savira Farah Putri tumbuh menjadi seorang gadis anggun yang tangkas dan cerdas, usianya kini sudah menginjak 17 tahun. Bahkan ia sudah beberapa kali memenangkan juara pertama dalam lomba menulis puisi, baik tingkat lokal maupun nasional. Kini, pihak sekolah dan teman sebayanya merasa bangga mempunyai siswa sekaligus teman seperti vira.

Berbanding terbalik saat vira pertama kali masuk di kelas sepuluh, tak sedikit teman-temannya yang mengolok-olok dan mengejek keterbatasan fisiknya yang saat itu belum membaik, sehingga dari ejekan dan olokan teman-temannya tersebut, vira enggan melanjutkan sekolah, bahkan ia sempat kembali dilarikan ke rumah sakit, akibat jatuh sakit. Syam memberi tahu pada istrinya, bahwa pikiran vira masih rapuh menanggung masalah yang belum jadi takaran pikirannya.

Vira sekarang duduk di bangku kelas dua belas. Kurang lebih dua bulan lagi ia dan teman sebayanya akan menghadapi Ujian Nasional. Ia mendapat kabar, bahwa bulan depan ada perlombaan Cipta dan Baca Puisi yang diselenggarakan oleh Kementerian Pendidikan dan Budaya Nasional, bertema, “Harapan”. Tema tersebut masih bersifat umum, entah harapan yang ditujukan untuk bangsa, rakyat, keluarga atau diri sendiri. Vira tersentak kaget, saat Bu Fatiah, guru bahasa Indonesia di sekolahnya, menunjuk vira dan temannya, satria, sebagai delegasi yang dipercaya mewakili almamater. Tambah kaget saat bu fatiah memberi tahu, bahwa hadiah pertama sampai ketiga dari perlombaan tersebut, yakni mendapat beasiswa ke negeri sakura. Negeri yang selalu diidam-idamkan oleh vira di waktu senja. Bahkan ia mempunyai obsesi ingin pergi ke negeri tersebut dan menikmati senja bersama biola kesayangannya.

Berita gembira dari sekolahnya langsung vira kabarkan ke  ibunya. Ibunya sangat bahagia. Vira tidak mengatakan bahwa deadline pengumpulan naskah puisi tinggal dua hari lagi, karena pihak sekolah terlambat memberitahu, mungkin disibukkan mengurusi naskah-naskah soal UN. Sedangkan pengumuman pemenangnya satu pekan setelahnya. Secepat kilat, vira menyambar buku diarinya, lantas menyobek halaman terakhir. Matanya berjalan ke kiri dan ke kanan, mengeja memastikan. Ia mantap untuk menggunakan puisi pamungkas dalam diari hariannya itu untuk dilombakan.

Malam hari, ia setorkan naskah puisi yang sudah diedit pada ibunya, minta dinilai. Faidah mengangguk, sekilas tersenyum. Setelah dibaca, ia meminta vira untuk membacakan puisi tersebut di hadapannya. Vira tidak keberatan. Sekarang, badan ibu dan anak sudah saling berhadapan. Mata mereka bertemu, faidah mengangguk, memberi isyarat agar segera dimulai. Vira tersenyum mengambil ancang-ancang.

Air Mata Tuhan

Tanyakan pada waktu, apa itu rindu?
Hidup dan mati memang tak ada beda
Hanya sisakan tanya di lorong penantian
Katakan padaku, rindu itu apa dan bagaimana?
Biar kususuri bersama harapan dan ketulusan
Niscaya senyap kan sirna berpenghujung
Tak peduli walau jalannya ditaburi onak berduri
Sebab perjuangan harus direndam air mata
Ditetesi peluh dan darah

Surga hanyalah delusi bagi mereka yang ingkari langkah
Omong kosong yang jahil menuntun amanah
Terpujilah paduka
yang tak terkoyak ditimpa nestapa
Tersenyum saat dunia marah tanpa alasan
Alangkah nian nasib pendita
yang hanya tertohok takjub paduka takwa

Bila mana langit bersedih
Melihat bumi dipijak durjana
Beraltar congkak dan kesumat
Akankah mereka sanggup
Saat Tuhan meneteskan air mata...

-Bersambung-

Insya Allah, lanjut ke episode 6...

2 komentar:

  1. tag ana kakk..
    please tag ana yah :D

    BalasHapus
    Balasan
    1. Insya Allah, nanti ditag. Stay terus di facebook yah... nanti ada info selanjutnya...

      Hapus

Hamba Allah yang fakir akan ilmu, miskin akan amal, dan lancang mengemis Ridha-Nya dengan maksiyat dan dosa. #NovelisMuda

Pujangga Belantara

Info Lomba Menulis

Follow Me