“Disetiap lorong pasti ada cahaya, dan aku berjanji akan membawa ibu ke cahaya itu, sebetapapun lamanya waktu akan mempermainkan kita.”
“17 tahun yang lalu. Malam itu, pukul tiga dini hari, sesaat setelah nenek shalat tahajud, nenek tak sengaja menemukanmu. Tepatnya di depan pintu rumah. Saat itu, awalnya nenek mendengar suara ganjil, seperti tangisan bayi dari arah pintu luar, nenek mendekat ke mulut pintu, tangisan bayi itu semakin nyaring, sontak nenek langsung membuka pintu, dan ternyata dugaan nenek benar, itu memang suara tangisan bayi, yang tak lain adalah tangisan darimu. Saat itu juga nenek langsung mengambilmu dan merawatmu di gubuk sederhana ini. Nenek besarkan kau seperti anak sendiri, dirawat dengan penuh rasa sayang. Dan…” tiba-tiba cerita dari sang nenek dipotong oleh satria.
“Nenek tidak sedang berbohong kan?” satria seolah tak percaya atas apa yang barusan neneknya ceritakan.
Satria terus menggeleng-gelengkan kepala. “Nenek pasti sedang berbohong padaku. Nenek pasti sedang berbohong!”
Sang nenek langsung menempelkan kedua tangannya ke pipi cucunya. “Nak, dalam hidup ini, kebohongan adalah kecacatan hidup yang pantang untuk nenek suarakan.”
Satria melipat dahi, air matanya tak sengaja mengalir bersama jawaban neneknya tersebut. Suasana hening sesaat. Keduanya saling memandang. Satria kembali angkat suara.
"Pasti cerita bahwa keda orang tuaku sudah meninggal itu hanyalah sandiwara yang nenek reka kan?" Sang nenek mengangguk pelan.
"Kenapa nenek tidak bilang dari dulu. Kenapa, nek? Kenapa?!"
"Pasti cerita bahwa keda orang tuaku sudah meninggal itu hanyalah sandiwara yang nenek reka kan?" Sang nenek mengangguk pelan.
"Kenapa nenek tidak bilang dari dulu. Kenapa, nek? Kenapa?!"
“Bukan begitu, nak. Nenek menunggu waktu yang tepat. Nenek rasa, saat inilah waktu yang tepat untuk kau mengetahui yang sebenarnya tentang asal-usulmu.”
Satria membalikan badan, membelakangi neneknya. “Tinggalkan aku sendiri, nek. Aku mohon!”
Sang nenek merestui. Ia rasa, cucunya memang perlu waktu untuk sendiri, merenungi sekaligus menerima kenyataan pahit tentang asal-usulnya.
Sang nenek kembali masuk ke dalam gubuk. Satria beranjak, ia berjelaga menuju bibir pantai yang tak jauh dari arah rumahnya. Tak lupa, biola kesayangannya ia bawa. Sebelumnya, biola tersebut ia dapatkan ketika masih duduk dibangku SMP, tepatnya dari hadiah juara kedua dalam lomba cipta puisi tingkat nasional, yang diselenggarakan oleh bengkel teater, milik almarhum WS. Rendra. Saat itu, juara pertama sampai ketiga mendapatkan satu buah biola, mendali penghargaan dan pelatihan mencipta puisi dari bengkel teater, serta bagaimana memainkan alat musik biola dari Himpunan Violinist Indonesia, dengan harapan, bersama alunan biola tersebut akan tercipta musikalisasi puisi yang harmoni.
Di hadapan hempasan ombak, tangan satria mulai menggesek senar biola dengan begitu sendu, mencipta ketenangan bagi siapa saja yang mendengarnya. Di tengah kekacauan pikirannya, ia menciptakan satu instrumental yang begitu menyanyat hati, yakni Instrumen “Deretan Tanya.” Instrumen tersebut ia persembahkan khusus untuk neneknya, terlebih keluarga aslinya yang sampai sekarang masih misteri di mana rimbanya. Banyak deretan tanya yang ingin sekali satria ajukan pada mereka semua, tentang kejujuran, kemunafikan, kasih sayang dan… rasa cinta.
***
Semua mata tertuju pada satu panggung, panggung mewah beralas karpet merah, langit gedung disulap seperti awan biru yang sedang melayang, layar belakang menampilkan sorotan monitor dari pantulan media proyektor. Instrumen dan musik penyambut mulai bersahutan. Sound system mulai dicoba, gema suara seketika memantul.
Sekeliling ruangan dihiasi pernak-pernik seperti sebuah acara kolosal yang fenomenal, dan yang membuat semua mata tertegun takjub adalah pemandangan satu piala raksasa yang terpajang di depan panggung utama, piala raksasa tersebut dibalut kaca putih yang menyilau. Sungguh pemandangan yang sangat apik dan membanggakan bagi siapa saja yang bisa memegang piala tersebut. Tak ketinggalan, terpampang juga sebuah kalimat pembuka yang berukuran besar untuk para tamu undangan…
“Selamat datang di acara lomba cipta dan baca puisi tahun 2016. Kementerian Pendidikan dan Budaya Republik Indonesia.”
Vira mengusap mata yang mulai basah dilinangi air mata, faidah melihat ke arah sang anak, ia tersenyum, mengambil tisu dari saku jilbabnya, menghapus air mata anaknya.
“Ibu bangga padamu, nak. Buktikan pada mereka, bahwa vira layak memegang piala raksasa itu. Ibu yakin vira bisa. Pasti itu!”
Vira menghentikan isakannya. Ia balas senyuman dari ibunya. Melihat mata ibunya, ia langsung ingat atas tekad yang pernah dicatatnya di buku harian halaman awal.
“Disetiap lorong pasti ada cahaya, dan aku berjanji akan membawa ibu ke cahaya itu, sebetapapun lamanya waktu akan mempermainkan kita.”
Setelahnya, vira kembali melihat teks puisi yang ia lipat di tangan kanannya. Ia baca ulang, menghafal kembali inti kalimat dari bait puisinya. Hatinya senantiasa menggumamkan kalimat Basmallah dan Hauqallah. Semoga Allah menyertai lidahnya tatkala mengucap sederet puisi pengharapan di atas panggung nan megah di hadapannya.
Pembawa acara mulai menaiki panggung, ia memakai kemeja putih dibalut jas hitam dengan dasi kupu-kupu warna merah, kelihatan serasi dan berwibawa. Ia mengetes sound, lalu memberi salam pembuka yang sangat hangat pada para tamu undangan. Senyuman selalu ia tawarkan disetiap kali ia bicara.
Beberapa detik lagi acara akan dimulai. Semua juri sudah duduk di kursi masing-masing. Vira melihat ke arah samping kiri, ada seorang perempuan yang sedari tadi sudah tiba di dalam gedung dengan didampingi kedua orang tuanya, tengah berlatih juga, namanya sonya. Sonya sadar ada yang tengah memperhatikannya, ia mendelik ke arah vira, menatapnya penuh sinis. Vira membalasnya dengan senyuman tulus perkenalan. Namun, saat ia mengalihkan pandangannya ke arah kanan, betapa kagetnya ia, satria belum juga datang.
Dua jam yang lalu, satria izin melalui bu fatiah untuk pergi ke masjid, menunaikan shalat duha. Bu fatiah juga kelihatan panik, sempat mondar-mandir beberapa kali keluar gedung, namun tampaknya kekecewaan yang ia dapat, itu terlihat dari mimik wajahnya yang penuh rasa khawatir. Kekhawatiran itu juga yang tiba-tiba menyelusup pada relung hati vira, ia terus berdoa agar satria baik-baik saja dan tiba sebelum namanya disebutkan oleh dewan juri. Ia raba hatinya, ia tak bisa menerka ada rasa apa terhadap laki-laki tersebut.
“Apakah ini hanya kekhawatiran biasa pada teman? Ataukah ada rasa yang lebih dari itu? Oh Tuhan, aku mohon kawal ia untuk bisa hadir tepat pada waktunya.”
Bersambung…
Tidak ada komentar:
Posting Komentar