Index Labels

Senyum Terakhir untuk Umi (episode kedua)

Posted by Ucu Supriadi
. . . . Sesaat lamanya suasana masih mencekam. Sunyi. Jam dinding ruangan mendetakkan jarum-jarumnya, mengalunkan simfoni kesedihan. Dengan jarum panjangnya membisu diangka dua, sedangkan jarum pendeknya termangu diangka sepuluh. Bertemankan alat pendeteksi jantung yang terdengar. Mendenyutkan urat sarafku, bilamana alat pendeteksi itu datar memanjang, aku pasti terkulai melihatnya. Pertanda ruh umiku melayang tertiup hembusan malaikat Izrail yang dititahkan oleh-Nya. Sesekali terdengar tarikan nafas yang terulur dari lorong hidung umiku. Setelahnya, kesunyian kembali merenggut.

Hampir dua jam aku berada di rumah sakit. Menunggu umiku yang tengah berwira-wiri, berkunjung ke suatu tempat yang aku juga tidak tahu tempat itu di mana dan sedang apa? Yang jelas umiku begitu asyik menikmati tempat tersebut, karena hampir setiap kata yang aku ucapkan, bibirnya terkatup tak mau berucap. Menimpali. Walaupun satu patah pun: Iya. Bibirnya tak bisa. Kelu. Terturup rapat berhias putih pasi.

Tak terasa, air bening dari telaga mataku kembali berderai, mengalir melalui saluran-saluran kelopak mataku. Tiba-tiba, Tik, air bening yang mengalir dari saluran kelopak mataku, bermuara dan terjatuh tepat di mata kanan umiku. Matanya mengerjap. Aku pun tersiap. “Umiiiii” lirihku begitu senang tak terkira. Simpul senyum menguasai bibirku. Suka cita menyelimuti hatiku. Karena pertanda umiku mulai sadar. Mengerjapkan mata.
Kutata kebahagiaan tak terkira itu, tapi. . . Mata kanan umiku kembali ke posisi semula, sama seperti mata kirinya. Diam dan kaku. Aku pun kembali tertunduk lemas. Kembali sesegukan dalam atmotfer kegundahan. Kesedihan.

Setelahnya, kutatap kembali kedua bola matanya yang begitu teduh tatkala terkatup dalam alunan-alunan mimpinya. Ingin sekali aku basahi kedua bola matanya dengan basuhan air mata bahagia. Ya, aku ingin mengajaknya pergi naik haji. Agar bola matanya itu dapat merintih, melelehkan airnya karena sesegukkan rindu dengan Rumah-Nya. Kabah. Itulah tangisan bahagia. Air mata kesejukkan. Apakah aku bisa mengajak air mata kesejukkan itu bersama umiku?

Dalam kegundahan hati yang masih menyelimuti diri, kerisauan raga yang mencengkeram jiwa. Tiba-tiba sepasang kaki berderap melangkah dari arah belakang. Mengangetkanku sehingga memaksaku untuk mengusap air bening itu. Ah, mungkin ada setetes malu di wajahku jikalau aku cengeng meratapi nasib Umiku. Ya, aku harus tegar di hadapan orang-orang dalam masalah ini. Aku harus kuat. Walaupun sebenarnya aku lebih rapuh dalam masalah ini. Bahkan rapuhnya melebihi setangkai mawar. Tapi aku harus kuat.  Harus kuat. Titik.

“Assalamu’alaikum. Ma’af apakah anda yang bernama Muhammad Fahrul Abdullah?” tanya lelaki tegap, berpakaian polisi, berkumis tebal dan bersuara tegas.
Aku mengangguk asal, karena di dalam benakku tertanam benih-benih tanya pada laki-laki serem yang sekarang ada di hadapanku.  “Ya, Aku Fahrul Abdullah. Maaf, ada apa ya?”
“Anda kami tangkap! Karena anda terlibat dalam perampokkan terencana di rumah Salman Adhar!” Sergahnya mengelurkan borgol lantas mengalungkannya ke tanganku. Aku berontak, membela diri.
“Ini fitnah! Fitnah! Biarkan saya menjelaskan tuduhan keji ini. Saya tidak tahu menahu dengan perampokan itu!”
“Maaf, saya hanya menjalankan tugas. Nanti di kantor saja kalau mau memberikan keterangan!”
Dokter yang memeriksa Umiku kontan masuk, karena mendengar kegaduhan yang ada di dalam ruangan 601.
“Ada apa ini?” tanya sang dokter menyeruak karena keheranan
“Maaf, ini urusan kami. Maaf juga saya telah mengganggu kenyamanan ruangan ini. Silakan lanjutkan tugasnya dok!” jawab sang polisi sembari membekukku dan menuntunku keluar dari ruangan 601. Dokter itu hanya mengangguk ringan, walaupun beribu pertanyaan masih menancapi pikirannya. Kenapa dia bisa diborgol dan digiring bak anjing kurap oleh seorang polisi? Mungkin itu sekelumit pertanyaan dari sang dokter yang menghujami benak pikirannya.

Ketika aku berhasil digiring keluar, tiba-tiba teriak sang dokter mengejutkanku. “Astaghfirullah!” kaget sang dokter melihat keadaan umiku yang mengerjang dari tempat tidurnya.
Sontak Aku mendelik ke belakang, dengan pancaran mata yang membekukan hati dan menebarkan gundah gelisah. Karena denting suara menggema dari ruangan tersebut. Aku menggeliat gusar, melepas borgol yang menyelimuti kedua tanganku. Polisi misterius itu terkesiap, kaget melihat reaksi dariku.

Merah saga terlukis memar di pergelangan tanganku. Sakit rasanya, tapi apa daya, ini sebuah risiko.
Dengan sigap si polisi misterius itu menangkap kembali kedua tanganku yang terlepas dari borgolnya.


“Lepaskan! Apa salahku!?” sergahku menatap tajam
“Salahmu?” Ia menggantungkan kalimat
“Iya, apa salahku!?”
Ia diam sejenak, bersama nafasnya yang mengendur ke udara “Kau tidak salah! Yang salah adalah Ibumu. Kau paham!?” sambungnya berbisik
“Apa kesalahan Umiku? Ada apa dengan Umiku, hah!”
“Cukup! Jangan banyak bicara, ikut saja denganku. Berani Kau teriak, pistol ini yang akan berbicara! ”Ia menodongkan pistolnya kedekat pinggangku. Sontak, Aku mengangguk paksa “Baiklah!”
Sebelum melangkah pergi, kulemparkan pandanganku ke ruangan 601. Tapi, pintu itu menyimpulkan gurat duka. Dindingnya pun menebarkan mimik luka. Kegusaran dan kegundahan seketika memayungi semesta hati.
“Umi, apa salahmu, sehingga orang ini menyimpan benci padamu? Umi, apa yang terjadi padamu di sana? Umi, semoga kesehatan dan keselamatan senantiasa mendampingimu. Wahai Allah, kutitipkan sekelumit tanya dan alunan do’a ini pada Kuasa-Mu yang menerbangkan simfoni kehidupan dan kenestapaan.”
Setelahnya, dengan berhias duka dan air mata, langkahku mengayun bersama langkah kaki dari laki-laki misterius yang ada di samping kiriku. Meninggalkan ruangan 601. Meninggalkan sosok separuh baya yang di alasnya bersemayam surga dan perjuangan. Umi. Umiku!
Dalam perjalan, aku hanya diam seribu makna, mencoba mengeja arti penangkapanku ini. Kepala kutundukkan. Hati kutenangkan. Namun pikiranku tetap gentayangan. Menggelayutkan gundah gelisah, memikirkan nasib umiku yang tiada tahu bagaimana nasib akhirnya. Hanya desah risau mengulur panjang dari lorong hidungku. Dalam tasbih penderitaan.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Hamba Allah yang fakir akan ilmu, miskin akan amal, dan lancang mengemis Ridha-Nya dengan maksiyat dan dosa. #NovelisMuda

Pujangga Belantara

Info Lomba Menulis

Follow Me