Di ufuk barat, langit menyemburatkan warna jingga. Senja perlahan menyingsing. Sementara di atas gunung el Jurmeq, gunung tertinggi di Palestina. Terdapat seorang pemuda gagah yang mengenakan gamis hitam, berjenggot lebat, berhias senjata, lengkap dengan peluru di dadanya. Sejauh mata memandang, Ia tengah menerawang ke Masjid Al-Aqsa. Baitul Maqdis. Kiblat pertama kaum Muslim.
Selang 3 menit,
Ia mengalihkan pandangannya jauh ke arah selatan. Di sana terbentang luas wilayah
Gaza. Di wilayah itulah terkonsentrasi pemukiman penduduk dan kegiatan ekonomi
dalam skala besar. Saat itu sekitar tiga perempat penduduk Palestina
terkonsentrasi di wilayah itu, di tambah aktifitas ekonomi di pelabuhan
khususnya di Haifa, wilayah-wilayah itu merupakan pusat kegiatan pertanian
strategis terutama produksi asam. Dan di wilayah itu pula, zionis Israel melancarkan
serangannya. Yang membabi buta.
Dari atas Ia juga
bisa melihat laut Galilea. Laut yang luas dengan air yang jernih dan bisa
diminum. Ikan-ikan banyak bertebaran di sana. Kedua matanya terfokus mengamati ikan-ikan
yang sedang asyik berenang satu sama lain. Ia edarkan pandangannya ke kiri dan
ke kanan. Ia jadi berpikir, siapa yang
menjadikan laut itu jernih dan bisa diminum? Berwarna biru? Dan siapa pula yang
mengajari ikan-ikan itu sehingga bisa berenang lincah ke sana ke mari? Ia
teringat firman-Nya yang indah,
“Sesungguhnya
dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang
terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal. Yaitu orang-orang yang
mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadan berbaring dan
mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): "Ya
Tuhan Kami, Tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia, Maha suci Engkau,
Maka peliharalah Kami dari siksa neraka.” (TQS. Al-Imran : 190-191).
Setelahnya, Ia
kembali memandang ke Masjid Al-Aqsa. Masjid itu
telah menjadi saksi sejarah atas terjadinya peristiwa-peristiwa besar yang
menggetarkan dunia. Salah satu diantaranya adalah perang besar yang berkobar antara
pasukan Shalahuddin Al-Ayyubi dengan pasukan Salibis.
"Masjid yang indah, negeri yang
barokah, penuh nilai sejarah," lirihnya pada dirinya sendiri. "Akan kah aku akan mencatatkan
sejarahku di negeri yang penuh barokah ini?" imbuhnya sangat berharap.
Ia berkata begitu karena nanti malam Ia ada jadwal operasi
dengan Mujahidin lainnya di negeri yang berbarokah. Syam. Palestina. la sangat yakin
akan bertemu lagi dengan tentara-tentara banci penggembos jihad yang saat itu
kocar-kacir dibuatnya.
Matahari
terus merangkak mendekati peraduannya. Sinarnya yang kuning keemasan kini
mulai bersulam kemerahan. Ombak datang silih berganti seolah bersedih
menyaksikan tanah yang berbarokah kini berubah menjadi tanah yang bertumpah
darah!
Laut terasa hening dan mencekam. Menyaksikan
fenomena yang begitu menyayat hati. Pupilnya mengecil memokus menatap tajam, "Isykariman
au mutsyahidan. Hidup mulia atau mati syahid!" desisnya menatap
laut.
Ya, dia bergumam terus seperti itu. Dadanya kini
sudah dipenuhi jihad yang membara. Hatinya sudah sepenuhnya merindukan syahid
di jalan-Nya. Raganya sudah tergadai oleh surga-Nya. Cintanya sudah tercurahkan
seutuhnya pada Allah dan Rasul-Nya.
Karena sang bidadari sudah gugur mendahuluinya. Kemarin
malam saat tentara-tentara banci itu menembakinya berpuluh-puluh kali. Tanpa ampun,
sekalipun Ia dalam keadaan mengandung. Biadab sekali!
Melihat sang bidadari meregang nyawa bersimbah darah.
Malam itu, seketika darahnya mendidih dan langsung tanpa negosiasi dengan
hatinya. Keenam tentara banci itu, berhasil terbunuh dan terkoyak olehnya. Dengan
tembakan jitu laksana kilat yang sangat cepat dan akurat.
Baginya, nyawa istrinya melebihi segalanya. Walaupun
nyawanya yang harus jadi taruhannya, Ia rela. Dan terlebih saat itu, di dalam
perut istrinya tengah bersemayam benih mujahid dari hasil cintanya.
Ia akan terus
berjuang sampai titik darah pengahabisan, untuk menjaga kehormatan istrinya.
Tapi apa daya, takdir berkata lain. Allah mempunyai rencana yang sangat indah
untuknya. Untuk istrinya. Untuk anaknya. Dan untuk ketiganya. Sekarang, yang
senantiasa menggelayuti hatinya hanyalah. JIHAD
JIHAD DAN JIHAD!
Pemuda bernama Abu Abdullah itu masih menatap ke arah
laut. Matahari masih satu jengkal di atas laut. Sebentar lagi matahari itu akan
tenggelam. Warna kuning keemasan bersepuh kemerahan yang terpancar dari bola
matahari menampilkan pemandangan luar biasa
indah. Ia jadi teringat dialog cinta antara ia dengan istrinya, satu hari
sebelum istrinya mati syahid. Tak sengaja, air matanya meleleh di sudut matanya.
“Abi, kalau
seandainya Umi di takdirkan oleh Allah Syahid di jalan-Nya, apa yang akan Abi
lakukan untuk Umi?”
“kesetiaan untuk
Umi!”
“benarkah?”
“benar Umi! Umi
hanya satu di hati Abi. Begitupun Umi harus menjadikan Abi hanya satu untuk
Umi! Dan Abi berjanji, akan mendidik anak kita, agar Ia terlatih dalam
peperangan, menjadikannya cinta pada kebenaran, menjadikannya seorang penyeru Tauhid,
sehingga menjadikan Allah dan Rasul-Nya di atas segala-galanya. Karena Abi
yakin, anak kita kelak akan menjadi pemimpin perang dalam penaklukan Roma,
ketika Khilafah sudah tegak di muka bumi ini! Emm. . Kalau sebaliknya, Abi yang
mendahului Umi, bagaimana?”
“akan setia
seperti halnya Abi! dan Umi juga berjanji, akan mendidik anak kita, untuk bisa
menjadi sosok seperti Abi! Sosok yang sangat tangguh dan setia pada kebenaran!”
**
“Bi, kenapa sih
kita itu harus berjihad di palestina?”
“karena kita
Muslim Mi!”
“apakah hanya
itu yang jadi alasannya? Apakah ada lagi selain itu?”
“ada. Yakni membela saudara-saudari kita. Serta
melindungi Baitul Maqdis. Kiblat pertama kaum Muslim! Karena Ia adalah harga
diri kita Mi! Dan harus kita yakini dengan segenap iman dan jiwa raga kita, bahwa
kitalah umat yang dijanjikan oleh Allah melalui Nabi Musa Alaihis Salam sebagai
pemilik syah dari tanah palestina. Karena kita masih beriman kepada Allah dan
menuruti segala perintah dan menjauhi laranganNya.
Kita sudah
mengetahui bahwa Yahudi adalah keluarga kita juga dari keturunan yang sama,
namun mereka bernenek moyang Tsamiri yang menyembah patung lembu emas dan kita masih
menyembah Allah Yang Maha Esa, Tuhanya Seluruh Nabi dan Rasul yang mulia.”
“Umi sangat beruntung bisa mendapatkan Abi,
suami yang shaleh dan luas Ilmu”
“Abi juga
beruntung bisa mendapatkan Umi, istri yang shalehah dan ta’at pada suami.”
**
“Bi, In Sya’
Allah kalau kelak kita di pertemukan kembali di Surga-Nya, apakah Abi akan
tetap menggandeng Umi sebagai Bidadari satu-satunya di hati Abi? Sekalipun
Allah menawarkan Bidadari Surga-Nya yang indah bermata jeli?”
“Kalu Abi di
paksa sama Allah untuk menyunting Bidadari Surga-Nya. Abi akan menolak. Karena Bidadari
Surga-Nya sudah ada sejak Abi hidup di dunia.”
**
“Mi, tanggal
pernikahan kita itu tanggal berapa sih? Abi lupa?”
“03 Maret 1991
Bi,”
“Seandainya akad nikah kita adalah tanggal 28
Oktober 1928, Abi akan ubah naskah Sumpah Pemuda menjadi Sumpah Abi Cinta Umi.”
Di atas gunung el Jurmeq, Ia terus menikmati detik
-detik pergantian siang dan malam yang indah itu dengan sekelumit kisah
cintanya dengan sang istri di masa lalu. Sedih bercampur bahagia. Sedih, karena
hari-harinya terasa sepi tanpa rayuan-rayuan segar dari sang istri. Bahagia,
karena sang istri pasti tengah tersenyum simpul dalam surga-Nya. Dalam dekapan SAMARA-Nya.
Dan dalam bingkai Cinta-Nya.
Seketika azan berkumandang menghempaskan lamunannya,
dengan suara lantang: Allaahu Akbar!
Allaahu Akbar! Allah Maha Besar. Allah Maha Besar. Azan terus bersenandung
merajut pangilan-panggilan suci dari-Nya. Sehingga memekakkan telinga-telinga
Yahudi Lakanatullah yang siap beroperasi.
***
Malam mulai membentangkan jubah hitamnya. Palestina
memperlihatkan aroma yang lain. Aroma malamnya yang sangat cekam. Tiba-tiba ketika
Azan dan Shalat Maghrib usai. Desingan peluru memecah kesunyian, kilatan roket mencuat
di atas petala langit. Memorak porandakan semua yang ada. Rumah, Sekolah,
Bangunan, Taman Kota termasuk Masjid menjadi target mereka. Masjid Al-Aqsa pun setengah
hancur di buatnya. Hujan bom dan rudal berhasil membumi hanguskan Palestina. Hampir
rata dengan tanah.
Dalam hitungan menit, mayat-mayat yang tak berdosa bergelimangan
memenuhi jalan. Darah segar terus menetes dan mengalir dari mayat-mayat
tersebut. Hanyir dan dingin. Seketika jalanan-jalanan, trotoar-trotoar memerah.
Merah darah!
Tanpa komando, Abu Abdullah langsung keluar Masjid.
Karena Ia yakin Masjid yang Ia singgahi akan menjadi target Yahudi berikutnya. Abdullah
bertemu Azzam di depan pintu masuk Masjid. Melihat Azzam wajah Abdullah tampak
riang.
"Akhi sudah
shalatnya? Ana sudah mencari Akhi ke mana-mana.
Sudah tiga kali ana ke markas, tapi Akhi dan para Mujahidin lainnya tak ada di
sana. Ternyata Akhi di sini. Kalau Akhi Fillah lainnya pada kemana ya? Akhi
tahu?” tanya Azzam pada Abdullah.
“Alhamdulillah
sudah. Mungkin lagi ke Amir (pemimpin), untuk mengambil peralatan dan mengatur
strategi buat operasi nanti malam. Ayo kita bergegas kesana! Sebelum
Anjing-anjing itu menewaskan banyak orang!” jawabnya
mengajak Azzam menuju pemimpin para Mujahidin. Abu Hisan Al-Maki.
“Ayo!” lantang
Azzam menggendong senjata. Diikuti Abdullah. Mereka pun bergegas.
Angin berhembus mesra, menemani langkah mereka yang
mulia. Berjuang bersama membebaskan Bumi Syam dari cengkeraman Yahudi Laknatullah
‘alaihim nan durjana.
Dengan langkah pelan tapi pasti, mereka
tergapah-gopoh menuruni gunung el Jurmeq dengan hati dan pikiran yang tetap
terjaga. Selama perjalanan menuju Amir. Mereka menyelimuti diri dengan kalimat
Thayyibah dan senantiasa mengedarkan matanya menyeruak ke kiri dan ke kanan.
Takut-takut ada agen Mosad mengintai mereka.
Sesampainya di Amir. Di el Khalil (Hebron). Tidak
jauh dari Al-Quds (Yerussalem), Bethlehem, Nablus dan Ramallah. Azan Isya
berkumandang. Suara suci itu bergerak dengan lembut dan cepat. Menyapa alam.
Menyapa pasir -pasir perjuangan. Menyapa kerikil- kerikil penindasan. Menyapa
aspal-aspal Intifadhah. Menyapa
jiwa-jiwa yang telah gugur di jalan-Nya. Menyapa pohon-pohon kurma, zaitun dan
chrom. Menyapa apa saja yang ada di Bumi Para Syuhada.
Semuanya menjawab. Semuanya shalat. Semuanya
menyucikan dan mengagungkan asma Allah. Semuanya bertakbir kecuali Zionis
Israel yang tetap menyalak bak Anjing kelaparan. Bangsa kera itu terus
melancarkan serangannya pada Gaza. Gaza pun terkoyak. Gaza menangis. Meringis
kesakitan!
Usai shalat Isya. Abu Hisan Al-Maki naik ke atas
mimbar dan menyampaikan orasinya yang begitu menyengat, untuk bekal para
Mujahidin dalam operasi jihad yang sebentar lagi akan mereka lancarkan terhadap
Zionis. Dalam getar suara yang menyesakkan. Ia angkat bicara,
“Assalamu’alaikum
Warrahmatullahi Wabarakatuh. Wahai singa-singa Allah yang begitu rindu akan
Syahid di jalan-Nya. Aku ingatkan untuk ke seribu kalinya pada kalian. Bahwa
kita telah berjual beli dengan Allah dan Allah pun telah berjanji dalam
kitab-Nya yang mulia pada kita,
“Sesungguhnya
Allah telah membeli dari orang-orang mukmin diri dan harta mereka dengan
memberikan surga untuk mereka. Mereka berperang pada jalan Allah; lalu mereka
membunuh atau terbunuh. (Itu telah menjadi) janji yang benar dari Allah di
dalam Taurat, Injil dan Al Quran. Dan siapakah yang lebih menepati janjinya
(selain) daripada Allah? Maka bergembiralah dengan jual beli yang telah kamu
lakukan itu, dan Itulah kemenangan yang besar.
Mereka itu
adalah orang-orang yang bertaubat, yang beribadat, yang memuji, yang melawat,
yang ruku', yang sujud, yang menyuruh berbuat ma'ruf dan mencegah berbuat
Munkar dan yang memelihara hukum-hukum Allah. Dan gembirakanlah orang-orang
mukmin itu.” (TQS At-taubah : 111-112).
Saudaraku. Masalah Al-Quds bukan hanya masalah bangsa palestina dan bangsa
arab saja. Namun permasalahan bersama umat Islam di manapun mereka berada. Di
belahan bumi utara, selatan, timur dan juga barat.
Al-Quds merupakan kiblat pertama umat Islam. Bumi tempat di lahirkannya
Nabi-nabi pilihan. Kota ketiga yang diberkahi dan dimuliakan Allah Subahanahu
Wa Ta’ala. Serta menjadi ranah Jihad di jalan Allah. Kini Al-Quds telah
dicaplok Zionis Laknatullah ‘Alaihim dan telah di Yahudikan terang-terangan.
Dibantai dan Diusir bahkan Masjid Al-Aqsa akan mereka robohkan.
Wahai umat Islam bangkitlah kalian! Sungguh! telah tiba saatnya untuk
berjihad! Detik-detik bahaya telah menentang! Al-Quds. Al-Aqsa. Palestina.
Sehelai Tirai yang membatasi Palestina dan seluruh negeri Muslim lainnya harus
kita singkap ke permukaan. Perjuangan ini harus kita lakukan sampai titik darah
penghabisan. Tinggal pilih, Hidup Mulia atau Mati Syahid!?
Saudaraku. Sekali lagi Aku tegaskan. Sekarang Mosad memerintahkan
agen-agennya untuk terus membombardir Gaza kemudian membumi hanguskannya dan
pada akhirnya menguasainya. Mereka tengah bergerak menuju Masjid Al-Aqsa.
Mereka akan membangun kuil sulaeman di bawah Masjid kita. Dan Masjid Al-Aqsa
pun akan roboh karenanya.
Maka Aku perintahkan kepada sayap kiri Mujahidin, untuk membendung gerak
mereka di Al-Quds. Dan untuk sayap kanan
Mujahidin, segeralah merangkak menuju Gaza menahan invasi Zionis dan berbalik
menyerang. Sedangkan Abu Abdullah dan Abdullah Azzam, Aku perintahkan khusus
pada kalian berdua untuk pergi menemui Mosad. Karena kalian berdualah yang ahli
dalam memainkan pedang dan senapan.
Dini hari sebelum Subuh, Dia ada di
wilayah dataran rendah (galur) Yordan,
tepatnya di kaki gunung Syaikh (sebelah utara). Dia akan menghadiri konsiliasi
antara Israel, PBB dan Palestina, untuk menandatangani berkas penyerahan Gaza
pada Israel. Maka bunuhlah Mosad dalam perjalanan! agar konsialiasi itu batal.
Dan gaza pun dapat terselamatkan.
Bunuhlah Makhluk
keji itu! sampai tak berbekas. Karena Makhluk keji itu, tak punya hati nurani
telah mengoyak-oyak saudara-saudara kita
sampai meregang nyawa bersimbah darah! Kota suci yang berbarokah telah dinodai
olehnya! Bila perlu kalian penggal lehernya dan bawa kepalanya ke sini! Bisa
dipahami semua? Takbir!”
“Bisa! Allahu
Akbar!” jawab semua Mujahidin serentak.
Seketika el Khalil (Hebron) bergemuruh dengan pekik
takbir. Dan Abu Hisan Al-Maki menutup orasinya dengan ungkapan penuh retoris,
“kalau kamu
ingin anak kamu melihat tengkorak kamu dipijak-pijak di sini (Gaza), silakan
masuk melalui darat, kami telah lama menuggumu Israel!!! Wassalamu’alaikum
Warahmatullahi Wabarrakatuh.”
Pekik takbir kembali bergemuruh. Menggema. Sel-sel
otak Mujahidin seakan tersengat listrik beribu-ribu volt, setelah mendengar
ungkapan heroik dari Abu Hisan Al-Maki. Bertambah kecil dan kerdil saja Mujahidin
dihadapan-Nya. Dihadapan-Nya yang Maha Kuasa dan Maha Perkasa. Yakni Allah
‘Azza Wa Jala.
***
Langit dini hari yang cerah dan tak
berawan mencumbui negeri para syuhada. Bahkan bintangnya yang berkilauan
laksana malaikat yang mengintip penduduk bumi. Bulan terasa begitu anggun
seanggun bidadari-bidadari yang bermata jeli menciptakan kedamaian di dalam
hati.
Tentara-tentara Allah itu tak bisa melewatkan
pesona ayat-ayat kauni yang maha indah itu begitu saja. Seketika, seru Amir
memecah ketegunan para tentara Allah itu. Abu Hisan Al-Maki menjerit ke atas
langit, meneriaki para penduduk langit, bahwa dia dan tentara Allah yang ikhlas
di jalan-Nya, akan segera mengawali
operasi jihad melawan bangsa kera yang tidak tahu diri.
Sekonyong-konyong para tentara Allah
yang tengah menikmati keindahan surgawi. Keindahan pesona langit, bintang
gemintang, dan bulan yang sedemikian fitri, tersentak kaget dan langsung
memekikkan takbir menimpali kalimat yang di teriakkan oleh Amir.
“Di
atas sana ada jutaan malaikat yang sedang bertasbih. Jutaan malaikat itu
mendoakan penduduk bumi yang tidak lalai. Penduduk bumi yang mau tunduk saat
jutaan manusia terlelap lalai dan diam membisu. Menyaksikan saudara seimannya
terkoyak bersimbah darah.
Wahai
tentara-tentara Allah! bangkitlah kalian! dan jawablah seruan suci yang begitu
agung menghampiri kita. Takbirrrr!”
“Allaaahu
Akbarrr!”
Dalam hitungan detik, semua Mujahidin langsung
berpencar sesuai komando. Dada mereka membara dengan bersemayamnya kalimat
tauhid. Hati mereka menderu menyambut syahid di jalan-Nya. Langkah mereka kokoh
menyambut surga-Nya yang tengah menanti. Mata mereka berbinar melihat cahaya
kemenangan Islam akan tampak ke permukaan. Menerangi palestina. Bumi Syam.
Hidung mereka menyium aroma wangi
bidadari surga yang bermata jeli lagi elok menawan. Telinga mereka mendengar
ringkikkan kuda yang Allah kirimkan dari langit. Tangan mereka berselimut
pedang yang berkilauan. Memicingkan mata. Menggetarkan musuh. Dan gigi mereka
menyeringai memekikkan takbir. Tasbih. Tahmid. Tahlil dan Hauqallah.
30 menit kemudian. Sayap kiri Mujahidin
berhasil menghalau mundur militer Israel dari Masjid Al-Aqsa dan memboikot
pintu masuk ke Kuil Sulaeman. Dan sayap kanan Mujahidin berhasil membunuh 31
zionis dan menembakkan enam merek baru roket J-80 di Tel Aviv dan Bat
Yam-Israel.
Sementara Abdullah masih tertinggal di
belakang Azzam kira-kira 500-600 meter. Karena Ia lupa belum megambil senjata
dan perlengkapan operasi lainnya. Ditambah di pertengahan jalan, Ia menemukan
anak kecil berada di bawah reruntuhan bangunan tengah menjerit minta tolong dan
meraung-raung kesakitan. Matanya pecah. Kaki dan tangannya hilang semua. Dan
Allah masih memberi kesempatan hidup padanya. Untuk menyaksikan kemenangan
Islam atas Palestina.
Dengan langkah seribu, Abdullah membawa anak
kecil itu ke Amir untuk diobati dan diberikan suntikan energi yang teramat
dahsyat darinya.
Merasa anak kecil itu sudah aman berada
dalam dekapan Amir. Abdullah langsung berlari sangat kencang bak kilat yang
amat cepat tak terlihat, menyusul Azzam yang sudah jauh meninggalkan dirinya. Setelah
berlari sangat kencang, dan nafas yang masih menderu, Abdullah tampak bergeming
memandangi Azzam yang terus melangkah dengan langkahnya yang terhuyung-huyung.
Tiba-tiba Abdullah melihat ada mobil
sedan biru meluncur agak cepat di belakang Azzam. Dan Abdullah tersentak kaget.
Sekilas Ia melihat sedan biru itu bergambar bintang david dan penumpang yang
ada di dalamnya mengeluarkan pistol dari jendela mobil.
Dengan tetap melaju kencang, pistol itu
diarahkan kepada Azzam. Abdullah langsung teringat pesan dari Amir ketika Ia
menitipkan anak kecil itu padanya, bahwa Mosad tak akan sendirian menuju
konsiliasi. Dia akan ditemani agen-agennya. Dengan sangat keras Abdullah
menjerit mengingatkan Azzam,
"Azzam
awaaass!"
Dan... "Dor! Dor! Dor!"
“Allaaaaahu
Akbarrrr!” lantang Azzam
memekikkan takbir lantas ambruk di trotoar jalan. Darah segar pun mengalir di
dekat pundak dan lehernya.
Abdullah mendengar suara tembakan dan
pekik takbir itu. Ia merasa puluhan peluru seperti menembak dirinya dan
menembus jantungnya. Tubuhnya langsung kaku. Kedua kakinya seperti tidak ada
tulang-tulangnya. Kedua matanya terbelalak melihat Azzam yang berjubah hitam
ambruk di trotoar jalan.
Sesaat ia merasa sangat terpukul. Ia
merasa kehilangan sesuatu yang sangat berharga. Azzam seperti bukan orang lain
lagi baginya. Azzam sudah ada di dalam hatinya. Azzam sudah menjadi saudara
se-jiwanya. Dan tiba-tiba ia merasa harus kehilangan saudara se-jiwanya yang dicintainya
karena Allah.
Air mata Abdullah meleleh. Kedua kakinya
terasa lemas. Namun akal sehatnya segera mengingatkan dirinya untuk segera
bangkit dan berlari secepatnya ke tempat di mana Azzam roboh ditembus pelor
peluru. Abdullah langsung bangkit dan berlari sekencang-kencangnya sambil
memanggil-manggil nama Azzam.
Dan hatinya bagai ditusuk-tusuk belati
melihat saudara se-jiwanya terkapar bersimbah darah. Jubah hitam itu memerah.
Merah darah! Wajah sangar itu tampak pucat. Bibirnya mengatup dan matanya
terpicing. Darah segar masih terus mengalir di dekat pundak dan lehernya.
Abdullah meraih tubuh Azzam dan
meletakkan dipangkuannya. Ia meraba nadinya. Masih berdenyut. Ia berpikir
keras, bagaimana menyelamatkan nyawa Azzam. Darah terus mengalir. Dan tangan
Azzam terasa semakin dingin.
Abdullah membaringkan tubuh Azzam di
semak belukar. Ia bangkit dengan darah yang mendidih lagi bergejolak. Ia segera
mengarahkan senapannya untuk menembaki ban Mobil yang di dalamnya ada Mosad.
“Dor..
Dor.. Dor!” peluru itu tepat
mengenai ban mobil. Mobil sedan biru itu seketika berhenti. Mosad dan
agen-agennya keluar dan Abdullah langsung menembaki mereka dengan sangat buas.
Persis ketika Abdullah menembaki keenam tentara banci yang telah membunuh
istrinya. Tak kenal ampun.
Sontak Mosad dan agen-agennya langsung
terkapar. Terbujur kaku bersimbah darah. Abdullah mendekat dan langsung
memenggal leher Mosad beserta agen-agennya satu persatu. Darah pun memancar
laksana air mancur dari leher-leher mereka.
Abdullah
tersenyum puas. “Aku mewakili kaum Muslim
di seluruh penjuru dunia, untuk menebaskan pedang ini pada kalian. Wahai
Musuh-musuh Allah!”
Abdullah menjilat pedangnya yang
berlumuran darah zionis-zionis Israel. Ia sedot lantas memuncratkannya kembali ke
wajah Mosad dan agen-agennya yang kaku. Tak berdaya.
Setelah
itu, Abdullah langsung mengemasi kepala-kepala mereka ke dalam karung yang
telah disediakan. Untuk dibawa dan diserahkan pada Amir. Abu Hisan Al-Maki. Sebagai
barang bukti bahwa dirinya berhasil menjalankan operasi. Membunuh Mosad beserta
agen-agennya.
Jalanan begitu lengang, kosong. Angin
pagi yang menggigil membelai pundak Abdullah yang tengah menenteng karung, yang
di dalamnya berisi kepala manusia paling biadab se-jagat raya. Mosad dan
agen-agen jahanam. Dan Ia beranjak menuju saudaranya. Abdullah Azzam. Yang
tengah terkapar di atas semak belukar.
Sesampainya di tempat, Abdullah jatuh
berlinang air mata. Karena saudaranya, Abdullah Azzam sudah meninggal dunia. Bibir
Azzam menerbitkan senyuman penuh kedamaian. Matanya berbinar penuh keikhlasan. Raut
wajahnya berpijar menerangi Galur Yordan. Badannya menyerbak harum wangi
syuhada. Dengan derai air mata, Abdullah berucap penuh iri pada Azzam,
“selamat
tinggal saudaraku, engkau berhasil menjemput cinta-Nya. Aku bangga padamu,
karena engkau telah mewakafkan diri dan berjuang penuh dedikasi di jalan jihad
yang Allah ridai. Maka, aku pun tak mau kalah, dengan ini Aku bersumpah. DI
JALAN JIHAD AKU BERJUANG!”
Sejurus kemudian, Abdullah mengecup
kening Azzam untuk terakhir kali. Sebuah kecupan penuh cinta. Sebuah kecupan tanda
persahabatan. Persahabatan Illahi, yang terajut atas benang-benang aqidah serta
keimanan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar