Index Labels

Sadarlah Wahai Berlian yang Tersingkap

Posted by Ucu Supriadi




Majalengka memasuki musim hujan. Cakrawala memuntahkan airnya di tengah petala langit. Awan hitam terbalut kabut yang sangat pekat. Hembusan angin terus menusuk-nusuk kulit disertai guntur yang putih-mengilat.
Suasana semakin bergemuruh, membuncah hamparan khatulistiwa. Menambah dingin udara yang semakin tinggi dari detik ke detik. Serasa hidup berada di dataran kutub yang suhu kedinginannya kurang dari 0 derajat celcius.
Di dekat jendela kamarnya, Haura masih termangu memandangi lekat-lekat rinai hujan yang terus-menerus menghujami genting rumahnya. Keras, mengalir, membasahi rerumputan yang terhampar di depan beranda rumahnya.
Dari jendela kamarnya, Ia pun menyaksikan sihir itu. Di matanya, Majalengka malam itu telah membuatnya seolah tak lagi berada di dunia. Namun di sebuah alam yang hanya dipenuhi kegundahan dan carut-marut saja.
Sesungguhnya bukan semata-mata cuaca  dan suasana musim hujan yang membuat  Majalengka malam itu begitu penuh kebimbangan. Bukan semata-mata sihir rembulan malam yang membuat Majalengka begitu hitam. Pekat. Menakutkan. Bukan semata-mata rinai hujan yang bening yang membuat Majalengka begitu dingin. Menggigil.
Akan tetapi, lebih dari itu, yang membuat segala yang dipandangnya tampak menggamangkan adalah karena musim hujan sedang bertandang di hatinya. Hujan kesedihan sedang berguyur deras di sana. Bunga bunga harap di hatinya sedang terkatup tak memekarkan indahnya. Layu.
Dan penyebab itu semua, tak lain dan tak bukan adalah semua teman yang ada di sekolahnya senantiasa menjauhi dan memberi jarak dengannya. Karena Haura seorang perempuan yang pendek lagi buta. Ia sedih kenapa semua teman yang ada di sekolahnya, hanya memandangnya dari segi fisik tanpa melihat dari segi potensi yang dimilikinya.
Memori ingatannya berputar kembali ke suatu peristiwa, ketika Ia mengungkapkan cita-citanya di depan kelas, bahwa Ia ingin menjadi seorang dosen dan penulis buku yang  mendunia.  Lantas teman-temannya tertawa terbahak-bahak  dan mengolok-oloknya. Tanpa ampun.
 “Haha, dasar pemimpi ulung! Mustahil itu terjadi! Dasar perempuan buta. Perempuan pendek!”
Setetes, dua tetes, air matanya kian mengalir, menganak sungai.
“Aku akan buktikan pada kalian. Aku bisa meraih mimpiku itu. Dan Aku pun akan buktikan. Bahwa cacatku adalah kelebihanku!” desisnya begitu yakin.
“Nak, ada apa denganmu? kok meneteskan air mata?” ucap ibunya menempelkan tangannya di atas pundak Haura. Sontak Haura kaget bukan main.
“Oh ibu, mengangetkan saja. Kirain siapa?” kaget Haura lekas menyeka air matanya.
“Nak , ibu sudah tahu masalah yang menimpamu saat ini,”  kata ibunya mengawali percakapan. Haura hanya mengangguk dengan lelehan air mata mengalir dari sudut matanya.
Ibunya tersedu lantas mengayunkan telunjuknya untuk membasuh air mata anaknya yang sedari tadi terus mengalir.
“Nak, dengarkan dan camkan nasehat dari Ibu ini. Berusahalah untuk selalu menjadi pihak pertama yang menunjukkan cinta dan perhatian kita kepada orang lain. Jangan menuntut perhatian dan cinta mereka untuk diperlihatkan lebih dahulu. Itulah satu-satunya cara agar kita bisa ke luar dari kegelapan hidup.”
Lagi-lagi Haura hanya manggut-manggut saja. Tanpa ada kata yang ikut mengiringi. Ibunya hanya tersenyum melihatnya.
“Nak, Sering kali di kehidupan ini, kita lebih banyak menghabiskan  waktu dan energi untuk memikirkan sisi yang buruk, mengecewakan, dan yang menyakitkan. Padahal, pada saat yang sama kita pun sebenarnya punya kemampuan untuk bisa menemukan banyak hal indah di sekeliling kita.
Ibu yakin dan percaya, kita akan menjadi manusia yang berbahagia jika kita mampu berbuat, melihat, dan bersyukur atas hal-hal baik di kehidupan ini dan senantiasa mencoba untuk melupakan yang buruk yang pernah terjadi.  Dengan demikian, hidup akan dipenuhi dengan keindahan, pengharapan, dan kedamaian.” pungkas ibunya kembali tersenyum.
Haura bergeming sesaat. Ada benarnya juga apa yang dikatakan ibunya. Sering kali di kehidupan ini,  kita lebih banyak menghabiskan  waktu dan energi untuk memikirkan sisi yang buruk, mengecewakan, dan yang menyakitkan.  Padahal, pada saat yang sama kita  pun sebenarnya punya kemampuan untuk bisa menemukan banyak hal indah di sekeliling kita.
“Nak, bolehkah ibu mengajukkan sebuah cerita padamu?” ungkap ibunya memotong lirihan Haura.
“Dengan senang hati bu. Boleh,” jawab Haura menerbitkan sebuah senyuman.
“Baiklah. Dengarkan baik-baik ya. Terus Kau ambil dan simpulkan sendiri hikmah yang terkandung dalam cerita yang akan ibu ceritakan. Setuju?”
“Setuju!” timpal Haura sangat antusias. Karena Ia sudah tahu, ketika Ibunya bercerita, pasti ceritanya itu berbobot dan dapat menyengat semangat hidupnya.
Ibunya merapihkan posisi duduknya, yang Ia rasa kurang nyaman.
“Alkisah. . . Suatu ketika, ada seorang perempuan yang kembali pulang ke rumah, dan ia melihat ada 3 orang laki-laki berjanggut yang duduk di halaman depan. Perempuan itu tidak mengenal mereka semua.
 “Aku tidak mengenal Anda, tapi aku yakin Anda semua pasti sedang lapar. Mari masuk ke dalam, aku pasti punya sesuatu untuk menganjal perut,” ujar si perempuan.
“Apakah suamimu sudah pulang?”si lelaki berjanggut malah balik bertanya.
“Belum, dia sedang keluar,” balas si perempuan mengernyit.
“Oh kalau begitu, kami tak ingin masuk. Kami akan menunggu sampai suamimu kembali.”
Di waktu senja, saat  keluarga itu berkumpul, sang istri menceritakan  semua kejadian tadi. Sang suami, awalnya bingung dengan kejadian yang diceritakan si istri, lalu ia berkata pada istrinya, 
"Sampaikan pada mereka, aku telah kembali, dan mereka semua boleh masuk untuk menikmati makan malam ini.”
Perempuan  itu kemudian keluar dan mengundang mereka yang sedari tadi tengah menunggu, untuk masuk ke dalam.
“Maaf,  kami semua  tak  bisa masuk bersama-sama,” kata laki-laki itu  hampir bersamaan.
"Lho, kenapa? tanya perempuan itu keheranan.
Salah seorang laki-laki  itu berkata, “Nama  dia  Kekayaan," katanya  sambil menunjuk seorang laki-laki berjanggut di sebelahnya,
“dan yang ini  bernama  Kesuksesan,” sambil memegang bahu laki-laki  berjanggut lainnya,
“sedangkan aku sendiri bernama Cinta. Sekarang, coba tanya kepada suamimu, siapa diantara kami yang boleh masuk ke rumahmu!?”
Perempuan itu kembali masuk ke dalam, dan memberitahu pesan laki-laki di luar. Suaminya pun merasa heran.
“Oh... menyenangkan sekali. Baiklah, kalau begitu, coba kamu ajak si Kekayaan masuk ke dalam. Aku ingin rumah ini penuh dengan Kekayaan.”
Istrinya tak setuju dengan pilihan itu. Ia bertanya, “sayangku, kenapa  kita tak mengundang si Kesuksesan saja? Sebab sepertinya kita perlu dia untuk  membantu keberhasilan panen gandum kita.”
Ternyata, anak mereka mendengarkan percakapan itu. Ia pun ikut mengusulkan siapa yang akan masuk ke dalam rumah.
"Bukankah lebih baik jika kita mengajak si Cinta yang masuk ke dalam? Rumah kita ini akan nyaman dan penuh dengan kehangatan Cinta.”
Suami-istri itu setuju dengan pilihan buah hati mereka.
"Baiklah, ajak masuk si Cinta ini ke dalam. Dan malam ini, Si Cinta menjadi teman santap malam kita.” seru sang ayah.
Perempuan itu kembali ke luar, dan bertanya kepada 3 laki-laki itu.
“Siapa diantara Anda yang bernama Cinta? Ayo, silakan masuk! Anda menjadi tamu kita malam ini.”
Si Cinta bangkit, dan berjalan menuju beranda rumah. Ternyata, kedua laki-laki berjanggut lainnya pun ikut serta. Karena merasa ganjil, perempuan itu bertanya kepada si Kekayaan dan si Kesuksesan. 
“Maaf, Aku  hanya mengundang si Cinta yang masuk ke dalam, tapi kenapa kalian berdua ikut juga?”
Kedua  laki-laki yang ditanya itu menjawab bersamaan. 
"Kalau Anda mengundang si Kekayaan, atau si Kesuksesan, maka yang lainnya akan tinggal di luar. Namun, karena Anda mengundang si Cinta, maka,  kemana pun Cinta pergi, kami akan ikut selalu bersamanya.
Dimana ada Cinta, maka Kekayaan dan Kesuksesan juga akan ikut  serta. Sebab, ketahuilah, sebenarnya kami buta. Dan hanya si Cinta yang bisa melihat. Sebenarnya kami bisu, dan hanya si cinta yang bisa bercakap.
Hanya dia yang bisa menunjukkan kita pada jalan kebaikan, kepada jalan yang lurus. Maka, kami butuh bimbingannya saat berjalan. Saat kami menjalani hidup ini.”
“Dan itulah ceritanya. Semoga engkau dapat tersadar dan mata hatimu dapat terbuka. Silakan engkau sendiri nak, yang menyimpulkannya!”
Air mata Haura kembali berderai, setelah mendengarkan cerita dari ibunya. Ia sekarang tersadar, bahwa Kekayaan dan Kesuksesan bukanlah faktor determinan dalam hidup ini.
Justru keduanya akan berbanding lurus dengan rasa cintanya pada sesama dan utamanya, rasa cintanya pada Dia yang Maha menghembuskan rasa Cinta, pada setiap hati Hamba-hamba-Nya yang beriman lagi mulia.
“Nak, sadarlah! bahwa engkau-lah berlian di hati ibu. Engkau-lah segalanya buat Ibu. Jangan dengarkan dan acuhlah! terhadap celotehan orang-orang pengecut yang sukanya menggembosi semangat hidup orang! Singkaplah tirai dogma itu nak! Kamu bisa! Ibu yakin itu!” ucap Ibunya meletup-letup bak motivator.
Semangat Haura pun seketika tersengat. Aliran darahnya seketika mendidih. Berlian itu tersadar akan potensi yang dimilikinya. Dan tidak dimiliki orang lain. Ia tidak akan lagi mengkhianati, mengerdilkan dan mempercundangi potensi yang ada. Akhirnya, Ia kembali tersenyum penuh keyakinan. Menatap dunia.
Sejurus kemudian, Ia peluk ibunya begitu erat. Air matanya Ia sembunyikan dibalik bahu perempuan yang terkuat se-jagat raya. Ibu.

EPILOG

UNTUK BERLIAN YANG TERTUTUP!
Wahai berlian yang tertutup!
Memandangmu sungguh menggetarkan mataku. Karena dirimu begitu teguh memegang prinsip hidup yang teramat fundamental.
Walau raga selalu tercaci, engkau balas dengan senyuman tulus penuh arti.
Walau petir ancaman menghujam jantungmu, engkau payungi dengan kesabaran tiada semu.
Walau kegagalan bertubi menghantam diri, engkau bersikeras bahwa kegagalan itu bukanlah akhir, namun awal dari kesuksesan diri.
Walau sumpah serapah memenuhi pundak, engkau bersihkan dengan ikhlas tanpa harus diri menyalak.
Wahai berlian yang tertutup!
Aku tak tahu kata apa yang layak aku sematkan padamu. Karena dirimu bak cahaya di atas ribuan kaca yang menyilau.
Aku tak tahu bait apa yang bisa menggambarkan tentangmu. Karena dirimu sukar tergambar oleh tinta dan kain kanvas di dunia ini.
Aku pun belum bisa bersenandung mengisahkanmu. Karena dirimu adalah bait-bait liar dan irama-irama misteri yang terus mengalunkan melodi-melodi ketegaran.
Wahai berlian yang tertutup!
Hari ini! Menit ini! Dan detik ini juga! engkau harus berani menyingkap tirai dogma yang terus meng-stagnankan hidupmu. Agar kilaumu dapat terlihat dan nantinya membawa manfaat. Agar diri tak lagi dicaci laksana makhluk kerdil yang ternista diri. Agar diri tak lagi dipandang rendah bak sebongkah sampah! Musnah!
Aku tahu. Memulai itu memanglah sulit. Tapi lebih sulit jikalau diri tak mau memulai. Mulailah sekarang juga! Tak apa, meskipun dengan langkah gontai dan merangkak. Mulailah berbenah dari hal yang dianggap kecil, karena suatu yang besar berawal dari yang kecil.
Wahai berlian yang tertutup!
Sibukkan diri dengan perkara yang menjanjikan. Agar kilaumu menjadi sapaan pengetahuan. Agar prestasi yang didambakan terasa mudah untuk didapatkan.
Ayunkan langkahmu. Singkapkan silaumu. Berjalanlah dengan kedua malaikat yang senantiasa hadir menemani langkahmu. Ajaklah mereka untuk bersenandung penuh optimis. Bersahabatlah dengan mereka. Rangkul-lah mereka. Dan bisik-kan pada mereka.
MALAIKAT. AKU BUKAN LAGI BERLIAN YANG TERTUTUP. TRAP! DAN INILAH AKU. BERLIAN YANG PENUH KEMENANGAN.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Hamba Allah yang fakir akan ilmu, miskin akan amal, dan lancang mengemis Ridha-Nya dengan maksiyat dan dosa. #NovelisMuda

Pujangga Belantara

Info Lomba Menulis

Follow Me