Majalengka memasuki musim hujan. Cakrawala
memuntahkan airnya di tengah petala langit. Awan hitam terbalut kabut yang
sangat pekat. Hembusan angin terus menusuk-nusuk kulit disertai guntur yang
putih-mengilat.
Suasana semakin bergemuruh, membuncah hamparan
khatulistiwa. Menambah dingin udara yang semakin tinggi dari detik ke detik.
Serasa hidup berada di dataran kutub yang suhu kedinginannya kurang dari 0
derajat celcius.
Di dekat jendela kamarnya, Haura masih termangu
memandangi lekat-lekat rinai hujan yang terus-menerus menghujami genting
rumahnya. Keras, mengalir, membasahi rerumputan yang terhampar di depan beranda
rumahnya.
Dari jendela kamarnya, Ia pun menyaksikan sihir itu.
Di matanya, Majalengka malam itu telah membuatnya seolah tak lagi berada di
dunia. Namun di sebuah alam yang hanya dipenuhi kegundahan dan carut-marut saja.
Sesungguhnya bukan semata-mata cuaca dan suasana musim hujan yang membuat Majalengka malam itu begitu penuh kebimbangan.
Bukan semata-mata sihir rembulan malam yang membuat Majalengka begitu hitam.
Pekat. Menakutkan. Bukan semata-mata rinai hujan yang bening yang membuat Majalengka
begitu dingin. Menggigil.
Akan tetapi, lebih dari itu, yang membuat segala
yang dipandangnya tampak menggamangkan adalah karena musim hujan sedang
bertandang di hatinya. Hujan kesedihan sedang berguyur deras di sana. Bunga
bunga harap di hatinya sedang terkatup tak memekarkan indahnya. Layu.
Dan penyebab itu semua, tak lain dan tak bukan
adalah semua teman yang ada di sekolahnya senantiasa menjauhi dan memberi jarak
dengannya. Karena Haura seorang perempuan yang pendek lagi buta. Ia sedih kenapa
semua teman yang ada di sekolahnya, hanya memandangnya dari segi fisik tanpa
melihat dari segi potensi yang dimilikinya.
Memori ingatannya berputar kembali ke suatu
peristiwa, ketika Ia mengungkapkan cita-citanya di depan kelas, bahwa Ia ingin
menjadi seorang dosen dan penulis buku yang
mendunia. Lantas teman-temannya
tertawa terbahak-bahak dan
mengolok-oloknya. Tanpa ampun.
“Haha, dasar pemimpi ulung! Mustahil itu
terjadi! Dasar perempuan buta. Perempuan pendek!”
Setetes, dua tetes, air
matanya kian mengalir, menganak sungai.
“Aku
akan buktikan pada kalian. Aku bisa meraih mimpiku itu. Dan Aku pun akan
buktikan. Bahwa cacatku adalah kelebihanku!” desisnya begitu yakin.
“Nak,
ada apa denganmu? kok meneteskan air mata?” ucap ibunya menempelkan tangannya di atas pundak Haura.
Sontak Haura kaget bukan main.
“Oh
ibu, mengangetkan saja. Kirain siapa?” kaget Haura lekas menyeka air matanya.
“Nak , ibu sudah
tahu masalah yang menimpamu saat ini,” kata ibunya mengawali percakapan. Haura hanya
mengangguk dengan lelehan air mata mengalir dari sudut matanya.
Ibunya tersedu lantas mengayunkan telunjuknya untuk membasuh
air mata anaknya yang sedari tadi terus mengalir.
“Nak, dengarkan
dan camkan nasehat dari Ibu ini. Berusahalah untuk selalu menjadi pihak pertama
yang menunjukkan cinta dan perhatian kita kepada orang lain. Jangan menuntut
perhatian dan cinta mereka untuk diperlihatkan lebih dahulu. Itulah satu-satunya
cara agar kita bisa ke luar dari kegelapan hidup.”
Lagi-lagi Haura hanya manggut-manggut saja. Tanpa
ada kata yang ikut mengiringi. Ibunya hanya tersenyum melihatnya.
“Nak, Sering kali
di kehidupan ini, kita lebih banyak menghabiskan waktu dan energi untuk memikirkan sisi yang buruk,
mengecewakan, dan yang menyakitkan. Padahal, pada saat yang sama kita pun
sebenarnya punya kemampuan untuk bisa menemukan banyak hal indah di sekeliling
kita.
Ibu yakin dan
percaya, kita akan menjadi manusia yang berbahagia jika kita mampu berbuat,
melihat, dan bersyukur atas hal-hal baik di kehidupan ini dan senantiasa
mencoba untuk melupakan yang buruk yang pernah terjadi. Dengan demikian, hidup akan dipenuhi dengan keindahan,
pengharapan, dan kedamaian.” pungkas ibunya kembali
tersenyum.
Haura bergeming sesaat. Ada benarnya juga apa yang
dikatakan ibunya. Sering kali di kehidupan
ini, kita lebih banyak menghabiskan waktu dan energi untuk memikirkan sisi yang buruk,
mengecewakan, dan yang menyakitkan.
Padahal, pada saat yang sama kita
pun sebenarnya punya kemampuan untuk bisa menemukan banyak hal indah di
sekeliling kita.
“Nak, bolehkah
ibu mengajukkan sebuah cerita padamu?”
ungkap ibunya memotong lirihan Haura.
“Dengan senang
hati bu. Boleh,” jawab Haura menerbitkan sebuah
senyuman.
“Baiklah.
Dengarkan baik-baik ya. Terus Kau ambil dan simpulkan sendiri hikmah yang
terkandung dalam cerita yang akan ibu ceritakan. Setuju?”
“Setuju!”
timpal Haura sangat antusias. Karena Ia sudah tahu, ketika Ibunya bercerita,
pasti ceritanya itu berbobot dan dapat menyengat semangat hidupnya.
Ibunya merapihkan posisi duduknya, yang Ia rasa
kurang nyaman.
“Alkisah. . . Suatu ketika, ada seorang perempuan
yang kembali pulang ke rumah, dan ia melihat ada 3 orang laki-laki berjanggut
yang duduk di halaman depan. Perempuan itu tidak mengenal mereka semua.
“Aku tidak mengenal Anda, tapi aku yakin Anda
semua pasti sedang lapar. Mari masuk ke dalam, aku pasti punya sesuatu untuk
menganjal perut,” ujar si perempuan.
“Apakah suamimu
sudah pulang?”si lelaki berjanggut malah balik bertanya.
“Belum, dia
sedang keluar,” balas si perempuan mengernyit.
“Oh kalau
begitu, kami tak ingin masuk. Kami akan menunggu sampai suamimu kembali.”
Di waktu senja, saat
keluarga itu berkumpul, sang istri menceritakan semua kejadian tadi. Sang suami, awalnya
bingung dengan kejadian yang diceritakan si istri, lalu ia berkata pada istrinya,
"Sampaikan
pada mereka, aku telah kembali, dan mereka semua boleh masuk untuk menikmati
makan malam ini.”
Perempuan itu
kemudian keluar dan mengundang mereka yang sedari tadi tengah menunggu, untuk
masuk ke dalam.
“Maaf, kami semua tak
bisa masuk bersama-sama,” kata laki-laki itu hampir bersamaan.
"Lho, kenapa?
tanya perempuan itu keheranan.
Salah seorang laki-laki itu berkata, “Nama dia Kekayaan," katanya sambil menunjuk seorang laki-laki berjanggut
di sebelahnya,
“dan yang
ini bernama Kesuksesan,” sambil
memegang bahu laki-laki berjanggut lainnya,
“sedangkan aku sendiri
bernama Cinta. Sekarang, coba tanya kepada suamimu, siapa diantara kami yang
boleh masuk ke rumahmu!?”
Perempuan itu kembali masuk ke dalam, dan
memberitahu pesan laki-laki di luar. Suaminya pun merasa heran.
“Oh... menyenangkan
sekali. Baiklah, kalau begitu, coba kamu ajak si Kekayaan masuk ke dalam. Aku
ingin rumah ini penuh dengan Kekayaan.”
Istrinya tak setuju dengan pilihan itu. Ia bertanya, “sayangku, kenapa kita tak mengundang si Kesuksesan saja? Sebab
sepertinya kita perlu dia untuk membantu
keberhasilan panen gandum kita.”
Ternyata, anak mereka mendengarkan percakapan itu.
Ia pun ikut mengusulkan siapa yang akan masuk ke dalam rumah.
"Bukankah
lebih baik jika kita mengajak si Cinta yang masuk ke dalam? Rumah kita ini akan
nyaman dan penuh dengan kehangatan Cinta.”
Suami-istri itu setuju dengan pilihan buah hati
mereka.
"Baiklah,
ajak masuk si Cinta ini ke dalam. Dan malam ini, Si Cinta menjadi teman santap
malam kita.” seru sang ayah.
Perempuan itu kembali ke luar, dan bertanya kepada 3
laki-laki itu.
“Siapa diantara
Anda yang bernama Cinta? Ayo, silakan masuk! Anda menjadi tamu kita malam ini.”
Si Cinta bangkit, dan berjalan menuju beranda rumah. Ternyata, kedua laki-laki berjanggut
lainnya pun ikut serta. Karena merasa ganjil, perempuan itu bertanya kepada si
Kekayaan dan si Kesuksesan.
“Maaf, Aku hanya mengundang si Cinta yang masuk ke
dalam, tapi kenapa kalian berdua ikut juga?”
Kedua
laki-laki yang ditanya itu menjawab bersamaan.
"Kalau Anda
mengundang si Kekayaan, atau si Kesuksesan, maka yang lainnya akan tinggal di
luar. Namun, karena Anda mengundang si Cinta, maka, kemana pun Cinta pergi, kami akan ikut selalu
bersamanya.
Dimana ada Cinta,
maka Kekayaan dan Kesuksesan juga akan ikut
serta. Sebab, ketahuilah, sebenarnya kami buta. Dan hanya si Cinta yang bisa
melihat. Sebenarnya kami bisu, dan hanya si cinta yang bisa bercakap.
Hanya dia yang
bisa menunjukkan kita pada jalan kebaikan, kepada jalan yang lurus. Maka, kami
butuh bimbingannya saat berjalan. Saat kami menjalani hidup ini.”
“Dan itulah
ceritanya. Semoga engkau dapat tersadar dan mata hatimu dapat terbuka. Silakan
engkau sendiri nak, yang menyimpulkannya!”
Air mata Haura kembali berderai, setelah
mendengarkan cerita dari ibunya. Ia sekarang tersadar, bahwa Kekayaan dan
Kesuksesan bukanlah faktor determinan dalam hidup ini.
Justru keduanya akan berbanding lurus dengan rasa
cintanya pada sesama dan utamanya, rasa cintanya pada Dia yang Maha
menghembuskan rasa Cinta, pada setiap hati Hamba-hamba-Nya yang beriman lagi
mulia.
“Nak, sadarlah!
bahwa engkau-lah berlian di hati ibu. Engkau-lah segalanya buat Ibu. Jangan
dengarkan dan acuhlah! terhadap celotehan orang-orang pengecut yang sukanya
menggembosi semangat hidup orang! Singkaplah tirai dogma itu nak! Kamu bisa!
Ibu yakin itu!” ucap Ibunya meletup-letup bak
motivator.
Semangat Haura pun seketika tersengat. Aliran darahnya
seketika mendidih. Berlian itu tersadar akan potensi yang dimilikinya. Dan
tidak dimiliki orang lain. Ia tidak akan lagi mengkhianati, mengerdilkan dan
mempercundangi potensi yang ada. Akhirnya, Ia kembali tersenyum penuh
keyakinan. Menatap dunia.
Sejurus kemudian, Ia peluk ibunya begitu erat. Air
matanya Ia sembunyikan dibalik bahu perempuan yang terkuat se-jagat raya. Ibu.
EPILOG
UNTUK
BERLIAN YANG TERTUTUP!
Wahai
berlian yang tertutup!
Memandangmu sungguh menggetarkan mataku.
Karena dirimu begitu teguh memegang prinsip hidup yang teramat fundamental.
Walau raga selalu tercaci, engkau balas
dengan senyuman tulus penuh arti.
Walau petir ancaman menghujam jantungmu,
engkau payungi dengan kesabaran tiada semu.
Walau kegagalan bertubi menghantam diri,
engkau bersikeras bahwa kegagalan itu bukanlah akhir, namun awal dari
kesuksesan diri.
Walau sumpah serapah memenuhi pundak,
engkau bersihkan dengan ikhlas tanpa harus diri menyalak.
Wahai
berlian yang tertutup!
Aku tak tahu kata apa yang layak aku
sematkan padamu. Karena dirimu bak cahaya di atas ribuan kaca yang menyilau.
Aku tak tahu bait apa yang bisa
menggambarkan tentangmu. Karena dirimu sukar tergambar oleh tinta dan kain
kanvas di dunia ini.
Aku pun belum bisa bersenandung
mengisahkanmu. Karena dirimu adalah bait-bait liar dan irama-irama misteri yang
terus mengalunkan melodi-melodi ketegaran.
Wahai
berlian yang tertutup!
Hari ini! Menit ini! Dan detik ini juga!
engkau harus berani menyingkap tirai dogma yang terus meng-stagnankan hidupmu.
Agar kilaumu dapat terlihat dan nantinya membawa manfaat. Agar diri tak lagi
dicaci laksana makhluk kerdil yang ternista diri. Agar diri tak lagi dipandang
rendah bak sebongkah sampah! Musnah!
Aku tahu. Memulai itu memanglah sulit.
Tapi lebih sulit jikalau diri tak mau memulai. Mulailah sekarang juga! Tak apa,
meskipun dengan langkah gontai dan merangkak. Mulailah berbenah dari hal yang
dianggap kecil, karena suatu yang besar berawal dari yang kecil.
Wahai
berlian yang tertutup!
Sibukkan diri dengan perkara yang
menjanjikan. Agar kilaumu menjadi sapaan pengetahuan. Agar prestasi yang
didambakan terasa mudah untuk didapatkan.
Ayunkan langkahmu. Singkapkan silaumu.
Berjalanlah dengan kedua malaikat yang senantiasa hadir menemani langkahmu.
Ajaklah mereka untuk bersenandung penuh optimis. Bersahabatlah dengan mereka.
Rangkul-lah mereka. Dan bisik-kan pada mereka.
MALAIKAT. AKU BUKAN LAGI BERLIAN YANG
TERTUTUP. TRAP! DAN INILAH AKU.
BERLIAN YANG PENUH KEMENANGAN.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar