Index Labels

Iya Tah? Iya Jeh!

Posted by Ucu Supriadi
Ini tentang pilihan....

Sebab, manusia adalah mahluk yang paling unik. Bagaimana tidak, karena setiap manusia tidak ada yang sama. Manusia bukanlah program komputer yang bisa diketahui dengan jelas awal, tengah maupun akhirnya. Kita tidak pernah tahu dari orang tua yang mana kita dilahirkan, bagaimana kehidupan kita nanti, dan dimana kita nanti berakhir.

Mereka yang berasal dari satu asal (tempat/wilayah yang sama) nantinya akan berakhir dalam kondisi yang tidak pernah sama. Mereka yang memiliki pendidikan sama-pun (S1, S2, S3, dan S lain-lain..) juga tidak memiliki masa depan yang sama.

Bahkan ketika saya amati, mereka yang kembar sekalipun memiliki masa depan yang berbeda. Lalu apakah memang betul ada beberapa di antara mereka yang sudah ditakdirkan sukses, sementara yang lainnya menderita? Sebaliknya pula, apakah kita sudah ditakdirkan gagal, sementara yang lainnya sukses? Lebih ekstrim lagi, apakah kita sudah ditakdirkan menjadi seorang kriminal, penjahat kelas kakap, sementara tetangga, saudara kita ditakdirkan menjadi seorang yang terlahir bahagia nan tahta dunia?

Betul sekali, membicarakan hal di atas pastilah kita langsung terbayang-bayang tentang apa yang disebut dengan takdir. Kata satu inilah yang sering membuat momok (hambatan) besar bagi beberapa orang, sehingga menghambat potensi terbesarnya. Beberapa dari mereka sering mengucapkan kata-kata seperti, ‘Wah ini sudah takdir kang, mana mungkin saya bisa sukses’, atau jika kalian berkunjung ke daerah-daerah terpencil, kalian akan sering mendengar kata-kata ini, ‘Saya ini Cuma petani kang, dari dulu nenek moyang saya juga petani. Sudah takdir keluarga saya cuma jadi tani’. 'aku mah apa atuh'...

Menarik memang, melihat fenomena ini. Mungkin ada beberapa pembaca di sini (barangkali termasuk kalian), yang juga memiliki pandangan yang sama dengan beberapa contoh yang saya paparkan di atas. Atau mungkin banyak yang menyalahkan saya dan cukup emosi bahwa memang begitulah adanya, dan itu tidak bisa diubah. Untuk bisa menyikapi lebih jauh tentang fenomena ini (takdir) tak ada salahnya untuk melanjutkan bacaan ini, checikot!

Mengapa kita perlu membahas hal ini. Bagaimana tidak, misalnya saya ambil contoh, apakah saya tahu bahwa saya ini besok akan terkenal dengan Novel-novel saya yang belum dibukukan? Tentu saja jawabannya SAYA TIDAK TAHU. Lalu bagaimana, jika saya bertanya kepada kalian, apakah kalian ini sudah ditakdirkan oleh Allah sebagai orang yang sukses? Tentu kalian akan menjawab SAYA TIDAK TAHU. Kalaupun kalian jawab kalian tahu, itu hanyalah dugaan kalian, sugesti kalian, atau sekedar rasa optimis kalian. Secara 100% mutlak kalian tidak pernah tahu ketiga hal tersebut. Yang ada, kita hanya mampu dengan jawaban mantra... Allahu A'lam. Betul kan? :)

Barangkali ada juga yang bertanya, “Kalau peramal kan tahu segalanya, kang?”. Jawabannya sangat sederhana, jika mereka sendiri tahu akan seperti apa kehidupannya nanti, mengapa mereka membuka jasa peramalan? Bukankah jika mereka tahu mereka pasti kaya, kenapa harus susah-susah iklan praktek ramal dimana-mana? Maka akan kembali ke jawaban awal, yaitu MEREKA JUGA TIDAK TAHU, akan nasib dan takdir mereka sendiri. Pernah saya melihat acara pertandingan sepak bola saat piala dunia di salah satu stasiun TV swasta. Kemudian ada peramal ternama yang ditanya oleh pembawa acaranya berapa skor akhir kedua tim yang bertanding tersebut? Dengan sangat percaya diri ia menjamin skornya tidak akan salah, dan dia berani bertaruh kalau itu pasti terjadi. Ternyata saat pertandingan sudah selesai, skornya jauh berbeda, bahkan tim yang ia jagokan menang ternyata kalah. Tak luput ia menanggung malu, dan hanya terdiam saat interview ketika pertandingan sudah berakhir...

Kembali lagi ke topik awal, dan sudah selesai kita ramal meramal..

Kalau sudah memisahkan kehidupan kita terhadap 3 hal tadi, maka kita bahas mengenai tanggung jawab kita terhadap kehidupan yang kita jalani ini. Ada suatu kisah yang sangat menarik. Kisah ini terjadi pada ratusan tahun yang lalu. Kisahnya tentang pencuri yang sudah mencuri berkali-kali dan berhasil ditangkap oleh penegak hukum, lalu diadili. Beginilah kira-kira dialognya...

Pencuri : Pak hakim, bapak tidak berhak mengadili saya di sini !

Hakim : Mengapa tidak, kamu adalah penjahat kelas kakap. Sudah banyak kasus pencurian yang dilaporkan. Dan sekarang kami berhasil menangkapmu.

Pencuri : Pak hakim, saya ini memang sudah ditakdirkan menjadi pencuri. Jika Tuhan memang berkehendak saya mencuri, pastilah saya bisa mencuri. Karena segala sesuatu terjadi karena kehendakNya. Jikalau Dia berkehendak saya tidak mencuri, pastilah Dia sudah menghalang-halangi saya dari dulu. Saya ini mencuri atas kehendakNya, maka kau tak bisa menghukumku karena mencuri.

Hakim : Pengawal !! jebloskan ia ke penjara !! Ia sudah mengakui kejahatannya !! Potong tangannya sekarang juga !!

Pencuri : Pak hakim, bagaimana mungkin saya disalahkan. Saya ini mencuri juga atas kehendakNya. Mengapa engkau menghukumku !!

Hakim : Hai pencuri. Hari ini Tuhan sudah mentakdirkanmu untuk dihukum. Aku menghukummu juga atas kehendakNya. Jikalau Dia tidak menghendaki hukumanmu ini, pasti Dia sudah menghalang-halangiku untuk menghukummu...

Pencuri : (terdiam, dan lemas)...

Cerita di atas adalah cerita yang sangat menarik. Tahukah kalian? Bahwa cerita di atas betul-betul terjadi yaitu pada saat Khalifah Umar bin Khattab menghakimi pencuri dan akhirnya memotong tangan pencuri tersebut.

Kisah tersebut mengisahkan, bahwa tindakan pencuri tersebut adalah tanggung jawabnya. Jikalau ia berkata bahwa Allah mentakdirkan ia mencuri, itu hanya dugaannya saja. Kalaupun ia tidak jadi mencuri misalnya, maka itu juga tanggung jawabnya. Untuk memperjelasnya mari kita lihat gambar di bawah ini.


Gambar ini mengilustrasikan bahwa pada diri manusia (kita) ada 2 aktivitas yang harus dibedakan. Yaitu ada aktivitas di mana kita semua bebas berbuat (faktor menguasai), dan aktivitas di mana kita dipaksa (tidak bisa bebas berbuat atau faktor dikuasai). Jika kita membahas mengenai kisah pencuri tadi, maka segala aktivitas mencuri yang ia lakukan sebenarnya adalah aktivitas yang dia bisa bebas berbuat. Apakah pencuri tersebut mau mencuri atau tidak, itu semua adalah pilhannya. Dan setiap aktivitas di zona ini (kita sebut zona dalam kontrol) maka kita bertanggung jawab sepenuhnya, baik akibat di dunia ini maupun perhitungan pahala dan dosa.

Adalah pilihan kita semua apakah kita ingin sukses atau tidak, dan kedua-duanya ada dalam kontrol kita, dan kita bertanggung jawab terhadap dampaknya di kehidupan dunia nanti. Adalah pilihan kita juga, jika kita ingin santai-santai, bermalas-malasan, membuang waktu, dan bersantai ria. Pilihan kita juga jika kita ingin bekerja keras, belajar banyak ilmu, menginvestasikan waktu dan harta, dan melakukan banyak kebaikan. 

Setiap pilihan kita menentukan masa depan kita pula. Pada posisi ini termasuk nasib kita, maka itu adalah penuh tanggung jawab kita dan memang bisa kita kendalikan.

Sementara zona yang lain adalah zona dimana kita tidak bisa berbuat apa-apa dan kita dipaksa untuk menerimanya. Apa itu? Misalnya fisik kita. Mengapa kita lahir berkulit putih/ hitam misalnya, maka itu adalah zona di luar kemampuan kita, dan kitapun tidak dimintai pertanggung jawabannya baik pahala/ dosanya. Mengapa kita lahir dari orang tua X, dan Y? Kita tidak pernah bisa memilih. Mengapa kita keriting? Mengapa dilahirkan dari orang tua kaya raya? Mengapa kita lahir di Indonesia? Semua itu di luar kendali kita. Dan kita hanya bisa menerimanya saja.

Muncul lagi pertanyaan, “Kalau begitu nasib saya sekarang, adalah karena saya sendiri? tapi bukankah ini juga Tuhan yang mengijinkan? Mengapa ia menghendaki saya hidup gagal seperti ini? Kalau begitu Tuhan tidak adil !” Kira-kira apa tanggapan Anda jika ditanya seperti ini? Benar sekali, Tuhan sudah berbuat adil kepada kita semua. Sedikit saya kutip dari perkataanNya berikut ini,

“Apa saja nikmat yang kamu peroleh adalah dari Allah, dan apa saja bencana yang menimpamu, maka dari (kesalahan) dirimu sendiri....” (QS An-Nisa : 79).

“Dan apa saja musibah yang menimpa kamu maka adalah disebabkan oleh perbuatan tanganmu sendiri, dan Allah memaafkan sebagian besar (dari kesalahan-kesalahanmu). “ (QS Asy-Syura : 30).

Betul sekali, apapaun yang terjadi pada diri kita memang itu semua pilihan kita, dan Dia telah banyak memperingatkan kita. Pernahkah kalian sakit? Ya, sakit bisa karena 3 hal yaitu karena ujian, cobaan, atau mungkin teguran. 

Jika kita sakit, bisa saja Allah menegur kita karena kita suka makan-makanan berkolesterol tinggi, namun tetap saja kita suka memakannya, atau malah Allah ingin kita istirahat, atas aktivitas sehari-hari yang selalu menguras tenaga dan pikiran. Maka benar apa yang Dia katakan bahwa bencana yang menimpa kita itu karena perilaku kita (zona dalam kontrol kita), dan akhirnya jika kita masuk ke ICU itu juga karena pilihan kita (pilihan semasa belum sakit) dan jika kita masih diberikan kesembuhan, maka benar Firman-Nya, bahwa Dia memaafkan sebagian besar dari kesalahan-kesalahan kita.

Pertanyaannya, Kita memilih mana? Hidup sukses, atau biasa-biasa saja? Itu semua kita yang memilihnya... itu semua hak kita. Dan, seindah-indahnya pilihan adalah ketika kita memilih sebagai pejuang Islam...

Bila ada yang masih nanya, Iya Tah? Jawab aja, Iya Jeh! *Tentunya dengan argumen yang jelas, seperti yang sudah saya paparkan di atas. :)

Sekian.

Cirebon, 18/04/2016

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Hamba Allah yang fakir akan ilmu, miskin akan amal, dan lancang mengemis Ridha-Nya dengan maksiyat dan dosa. #NovelisMuda

Pujangga Belantara

Info Lomba Menulis

Follow Me