Index Labels

Senja di Matamu (Episode 2)

Posted by Ucu Supriadi
“Tuhan, apakah bumi akan menenggelamkan satu harapanku?”
Sunyi merantai ruangan melati nomor tiga, tempat di mana Vira terbaring lemah. Selang infus masih menempel di hidungnya. Nafasnya menderu, bibirnya terus beracau menggumamkan satu nama. Tetes demi tetes air mata ibunya tumpah. Bibir sang ibu tak pernah lepas dari zikir mulia, berharap keajaiban yang terjadi pada Nabi Ibrahim dengan Ismail menimpa anaknya.

“Bangunlah, Nak. Ibu janji, bila kau bangun, ibu akan antarkanmu bertemu dengan Ayah. Bangunlah, Nak. Ibu mohon…” bisik sang ibu di telinga vira.

Mata Vira sedetik mengerjap, menumpahkan air di telaga matanya, kembali terpejam. Dadanya bereaksi hebat, badannya memantul-mantul. “Nak, kamu kenapa??.. Dokter…dokter…” jerit sang ibu begitu panik.

Seketika sang dokter berlari menghampiri, beberapa detik sang dokter tiba di samping ibu Vira. “Sebentar… alangkah baiknya anda menunggu di luar. Biar kami yang mengurusi vira.” Ucap dokter dengan terengah-engah. Ibu Vira mengangguk.

Satu jam berlalu, suasana masih tegang. Malam mulai bergelayut. Hilir mudik manusia mulai mengosong. Rumah sakit Gunung Jati laksana kuil, seperti tak berpenghuni. Ibu vira mendelik melihat jam di tangan, jarumnya berhenti tepat di angka dua belas. Ia mendesah panjang. Ada tanda tanya di ujung koridor malam. Pikirannya hanya tertuju pada satu nama, harapannya berpagut pada satu permintaan. “Tuhan, apakah bumi akan menenggelamkan satu harapanku?”

Dalam ruangan melati, dokter dan tim medisnya, sekuat tenaga menyelematkan Vira. Sejurus kemudian, sang dokter keluar ruangan mengabari pada ibu Vira, bahwa usia anaknya tinggal menghitung hari, menurut perkiraannya, bahwa anaknya punya waktu empat belas hari lagi hidup di dunia. Namun matematika medis dengan matematika Tuhan tidaklah sama. Ibu Vira disarankan untuk terus berdoa, agar anaknya diberikan keajaiban dari Tuhan. Mendengar hal itu, ibu Vira langsung ambruk, persis seperti hotel berbintang tujuh yang dijatuhi bom. Terkulai di sandaran ruang tunggu kamar melati.

Dokter langsung masuk kembali, mengerjakan kembali tugas beratnya. Ibu Vira mengintip di balik kaca, mereka begitu serius, hampir tak ada senyuman diantara mereka, tatapan mereka begitu cekam, semuanya tampak getir. Beberapa kali jantung Vira dipompa, disetrum, untuk merayu jantungnya agar tetap berdenyut. Perawat beberapa kali mengusap peluh sang dokter yang terus menetes. Mereka sesaat rapat tikus, lalu tampak mengangguk-angguk, sesekali tim medis satu dengan yang lainnya adu mulut, sang dokter menengahi. Ibu vira tak tahu apa yang sedang mereka bicarakan di dalam.

“Gimana dengan anak saya, dok?” sambar ibu Vira saat sang dokter keluar dari ruangan. Dokter yang masih muda dengan jambang hitam lebatnya berhembus penuh getir… “Ananda Vira mengalami penyakit luar biasa, selain penyakit Distonia.”

“Apa itu, dok?”

“Vira mengalami luka parah di bagian otak. Kami belum bisa mendiagnosa penyebabnya, yang jelas ada sesuatu hal yang terus menerus dia pikirkan, sehingga pikiran keras tersebut menyerang selaput otaknya. Apakah selama ini ada sesuatu hal yang terus dia pikirkan?” ibu vira mengangguk.

“Apa itu?” pertanyaan dokter tersebut ia timpali dengan air mata. Sang dokter dan tim medisnya paham. “Baik, kita tunggu sampai besok, semoga ada keajaiban untuk Vira. Kalau takdir berkata lain, kami sudah berusaha, dan untuk hasil kami serahkan seutuhnya pada Kekuasaan Tuhan. Dialah Maha Penentu.” 

******

Di sebuah taman yang rindang, di sekelilingnya ditumbuhi bunga-bunga yang begitu segar. Ada bunga mawar, melati, edelwis, pornis, kamboja dan masih banyak lagi. Rumputnya hijau tertata. Ada tiga ayunan menggelayut di sana. Air sungainya pun mengalir deras, ditumbuhi bunga-bunga teratai yang merambat lebat, udaranya begitu sejuk, di atas langit juga banyak burung-burung kecil terbang mengalunkan melodi yang harmoni. Sungguh taman impian, yang mampu memanjakan mata dan pikiran. 

Di atas dipan yang bertelekan emas keperak-perakan, di sana tengah duduk seorang wanita kecil yang hampir menginjak remaja, matanya terpejam, menikmati setiap kedamaian yang ia rasakan di taman itu. Sungguh kedamaian yang tak pernah ia rasakan sebelumnya. Sedetik kemudian, pundaknya seperti ada yang memegang. “Vira sayang, ayo kita ke ayunan itu!” Vira menoleh. “Ayah??? Benarkah itu engkau?” laki-laki muda itu tersenyum, mengangguk.

“Ayooo ayah…” sang ayah memapah Vira menuju ayunan. Vira tampak senang, senang sekali. Ia tertawa lepas, beberapa kali ia cubit ayahnya, sesekali ia meloncat-loncat. Vira merasa aneh, kenapa ia bisa meloncat, seakan-akan badannya tak ada beban. Padahal ia tahu bahwa ia adalah wanita penderita distonia. Namun kesenangan bertemu dengan ayahnya menghilangkan perasaan itu semua.

Ketika keduanya asyik berayunan. “Yah, ke mana saja sih? Kok jarang pulang ke rumah? Vira kan kangen sama ayah. Ibu juga suka menangis kalau Vira tanya di mana ayah, mungkin ibu juga mengalami perasaan yang sama seperti Vira.”

Tap. Ayahnya hanya diam. Tak menggubris sepatahpun perkataan anaknya. “Oh ya, ibu di mana, yah? Kok nggak ada di sini?” ayahnya menggeleng. “Kata Ibu, katanya ayah itu ada di tempat yang paling indah, tak terpikirkan oleh akal manusia, tak terjamah oleh manusia-manusia jahat yang pernah Vira kenal. Apakah ini tempatnya, yah?” ayahnya mengangguk.

“Ibu benar, tempat ini memang begitu indah. Belum pernah vira merasakan kedamaian luar biasa di taman ini.”
 
“Kok ayah diam saja?” sambung Vira pada ayahnya.

“Sini nak, duduklah dipangkuan ayah. Ayah ingin sekali mendekapmu, dan ayah akan tunjukan padamu, tentang langit sore yang melahirkan pesona menakjubkan. Lihatlah senja itu, nak. Indah bukan?” tunjuk sang ayah pada langit sore.

“Iya, indah sekali, yah. Ayah juga suka senja?”

“Iya, ayah suka sekali senja. Nak, bila nanti kau rindu pada ayah, pejamkan saja matamu, rasakan kehadiran ayah dalam senjamu.” Vira mengangguk pelan.

“Kalau begitu, ayah adalah senja untukku, ibu adalah matahariku, dan aku akan menjadi sinar rembulan di antara keduanya.” Ayahnya tersenyum lebar. Dan tiba-tiba ayahnya menghilang di telan senja.

Vira kaget, lantas berteriak. “Ayaaaaahhhh!!!”

Sang ibu yang di samping anaknya itu sontak terbangun, mendengar jeritan dari Vira. Ibunya kembali sesegukan, sebab sudah kesekian kali anaknya itu mengucapkan kata ayah dengan nada teriak dan histeris.

Semenit kemudian, sang dokter menghampiri, menanyakan ada hal apa yang menyebabkan vira menjerit, hampir terdengar sampai ke ruang kerjanya.

“Saya tidak tahu, dok. Vira sudah kesekian kali menyebut-nyebut ayahnya.”

“Anda tahu di mana ayahnya?” ibu Vira terdiam. Dengan nada serak ia berusaha menimpali, “Ayahnya sudah lama meninggal dunia, saat usia vira enam bulan dalam kandungan.”

“Apaaa!?” kaget sang dokter menatap mata ibu Vira.

“Tidak salah lagi, faktor itu yang menjadi penyebabnya. Rasa rindu vira pada ayahnya yang tak wajar, menyebabkan otaknya luka parah, bahkan sudah stadium empat.” Sambung sang dokter penuh keyakinan. Ibu vira kembali ambruk.

“Saya sudah ikhlaskan semuanya, dok. Bila kematian adalah pilihan terbaik untuk anakku, aku akan lapang dada atas Ketentuan-Nya. Kalau boleh Tuhan izinkan, aku ingin sekali berdiskusi dengan Izrail, agar ia mencabut nyawa anakku pelan-pelan, dan menitipkan salamku pada Ridwan, agar ia menuntun anakku menuju surga.” Sang dokter tersenyum, tak sengaja bulir hangat menyeruak di sela-sela matanya. Sang dokter terharu dengan perkataan wanita yang ada di hadapannya. Sungguh sosok ibu yang sangat hebat, luar biasa.

“Semoga Allah mendekap harapanmu.” Sang dokter turut mengamini. Ibu vira tersenyum, ia kembali bersama harapan panjangnya yang melelahkan.

Bersambung…

Insya Allah, lanjut ke episode tiga. Terus pantau ya blog ini… see you…

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Hamba Allah yang fakir akan ilmu, miskin akan amal, dan lancang mengemis Ridha-Nya dengan maksiyat dan dosa. #NovelisMuda

Pujangga Belantara

Info Lomba Menulis

Follow Me