“Tuhan, apakah bumi akan menenggelamkan satu harapanku?”Sunyi merantai ruangan melati nomor tiga, tempat di mana Vira terbaring lemah. Selang infus masih menempel di hidungnya. Nafasnya menderu, bibirnya terus beracau menggumamkan satu nama. Tetes demi tetes air mata ibunya tumpah. Bibir sang ibu tak pernah lepas dari zikir mulia, berharap keajaiban yang terjadi pada Nabi Ibrahim dengan Ismail menimpa anaknya.
“Bangunlah, Nak. Ibu janji, bila kau bangun, ibu
akan antarkanmu bertemu dengan Ayah. Bangunlah, Nak. Ibu mohon…” bisik sang ibu
di telinga vira.
Mata Vira sedetik mengerjap, menumpahkan air di
telaga matanya, kembali terpejam. Dadanya bereaksi hebat, badannya
memantul-mantul. “Nak, kamu kenapa??.. Dokter…dokter…” jerit sang ibu begitu
panik.
Seketika sang dokter berlari menghampiri, beberapa
detik sang dokter tiba di samping ibu Vira. “Sebentar… alangkah baiknya anda
menunggu di luar. Biar kami yang mengurusi vira.” Ucap dokter dengan
terengah-engah. Ibu Vira mengangguk.
Satu jam berlalu, suasana masih tegang. Malam mulai
bergelayut. Hilir mudik manusia mulai mengosong. Rumah sakit Gunung Jati
laksana kuil, seperti tak berpenghuni. Ibu vira mendelik melihat jam di tangan,
jarumnya berhenti tepat di angka dua belas. Ia mendesah panjang. Ada tanda
tanya di ujung koridor malam. Pikirannya hanya tertuju pada satu nama,
harapannya berpagut pada satu permintaan. “Tuhan, apakah bumi akan
menenggelamkan satu harapanku?”
Dalam ruangan melati, dokter dan tim medisnya, sekuat
tenaga menyelematkan Vira. Sejurus kemudian, sang dokter keluar ruangan mengabari
pada ibu Vira, bahwa usia anaknya tinggal menghitung hari, menurut perkiraannya,
bahwa anaknya punya waktu empat belas hari lagi hidup di dunia. Namun
matematika medis dengan matematika Tuhan tidaklah sama. Ibu Vira disarankan
untuk terus berdoa, agar anaknya diberikan keajaiban dari Tuhan. Mendengar hal
itu, ibu Vira langsung ambruk, persis seperti hotel berbintang tujuh yang
dijatuhi bom. Terkulai di sandaran ruang tunggu kamar melati.
Dokter langsung masuk kembali, mengerjakan kembali tugas
beratnya. Ibu Vira mengintip di balik kaca, mereka begitu serius, hampir tak ada
senyuman diantara mereka, tatapan mereka begitu cekam, semuanya tampak getir.
Beberapa kali jantung Vira dipompa, disetrum, untuk merayu jantungnya agar
tetap berdenyut. Perawat beberapa kali mengusap peluh sang dokter yang terus
menetes. Mereka sesaat rapat tikus, lalu tampak mengangguk-angguk, sesekali tim
medis satu dengan yang lainnya adu mulut, sang dokter menengahi. Ibu vira tak
tahu apa yang sedang mereka bicarakan di dalam.
“Gimana dengan anak saya, dok?” sambar ibu Vira saat
sang dokter keluar dari ruangan. Dokter yang masih muda dengan jambang hitam
lebatnya berhembus penuh getir… “Ananda Vira mengalami penyakit luar biasa,
selain penyakit Distonia.”
“Apa itu, dok?”
“Vira mengalami luka parah di bagian otak. Kami
belum bisa mendiagnosa penyebabnya, yang jelas ada sesuatu hal yang terus
menerus dia pikirkan, sehingga pikiran keras tersebut menyerang selaput otaknya.
Apakah selama ini ada sesuatu hal yang terus dia pikirkan?” ibu vira
mengangguk.
“Apa itu?” pertanyaan dokter tersebut ia timpali dengan
air mata. Sang dokter dan tim medisnya paham. “Baik, kita tunggu sampai besok,
semoga ada keajaiban untuk Vira. Kalau takdir berkata lain, kami sudah
berusaha, dan untuk hasil kami serahkan seutuhnya pada Kekuasaan Tuhan. Dialah Maha
Penentu.”
******
Di sebuah taman yang rindang, di sekelilingnya
ditumbuhi bunga-bunga yang begitu segar. Ada bunga mawar, melati, edelwis, pornis,
kamboja dan masih banyak lagi. Rumputnya hijau tertata. Ada tiga ayunan menggelayut
di sana. Air sungainya pun mengalir deras, ditumbuhi bunga-bunga teratai yang
merambat lebat, udaranya begitu sejuk, di atas langit juga banyak burung-burung
kecil terbang mengalunkan melodi yang harmoni. Sungguh taman impian, yang mampu
memanjakan mata dan pikiran.
Di atas dipan yang bertelekan emas keperak-perakan,
di sana tengah duduk seorang wanita kecil yang hampir menginjak remaja, matanya
terpejam, menikmati setiap kedamaian yang ia rasakan di taman itu. Sungguh
kedamaian yang tak pernah ia rasakan sebelumnya. Sedetik kemudian, pundaknya
seperti ada yang memegang. “Vira sayang, ayo kita ke ayunan itu!” Vira menoleh.
“Ayah??? Benarkah itu engkau?” laki-laki muda itu tersenyum, mengangguk.
“Ayooo ayah…” sang ayah memapah Vira menuju ayunan.
Vira tampak senang, senang sekali. Ia tertawa lepas, beberapa kali ia cubit
ayahnya, sesekali ia meloncat-loncat. Vira merasa aneh, kenapa ia bisa meloncat,
seakan-akan badannya tak ada beban. Padahal ia tahu bahwa ia adalah wanita penderita
distonia. Namun kesenangan bertemu dengan ayahnya menghilangkan perasaan itu
semua.
Ketika keduanya asyik berayunan. “Yah, ke mana saja
sih? Kok jarang pulang ke rumah? Vira kan kangen sama ayah. Ibu juga suka
menangis kalau Vira tanya di mana ayah, mungkin ibu juga mengalami perasaan
yang sama seperti Vira.”
Tap. Ayahnya hanya diam. Tak menggubris sepatahpun perkataan
anaknya. “Oh ya, ibu di mana, yah? Kok nggak ada di sini?” ayahnya menggeleng.
“Kata Ibu, katanya ayah itu ada di tempat yang paling indah, tak
terpikirkan oleh akal manusia, tak terjamah oleh manusia-manusia jahat yang
pernah Vira kenal. Apakah ini tempatnya, yah?” ayahnya mengangguk.
“Ibu benar, tempat ini memang begitu indah. Belum pernah vira merasakan kedamaian
luar biasa di taman ini.”
“Kok ayah diam saja?” sambung Vira pada ayahnya.
“Sini nak, duduklah dipangkuan ayah. Ayah ingin sekali mendekapmu, dan
ayah akan tunjukan padamu, tentang langit sore yang melahirkan pesona
menakjubkan. Lihatlah senja itu, nak. Indah bukan?” tunjuk sang ayah pada
langit sore.
“Iya, indah sekali, yah. Ayah juga suka senja?”
“Iya, ayah suka sekali senja. Nak, bila nanti kau rindu pada ayah,
pejamkan saja matamu, rasakan kehadiran ayah dalam senjamu.” Vira mengangguk
pelan.
“Kalau begitu, ayah adalah senja untukku, ibu adalah matahariku, dan aku
akan menjadi sinar rembulan di antara keduanya.” Ayahnya tersenyum lebar. Dan
tiba-tiba ayahnya menghilang di telan senja.
Vira kaget, lantas berteriak. “Ayaaaaahhhh!!!”
Sang ibu yang di samping anaknya itu sontak terbangun, mendengar jeritan
dari Vira. Ibunya kembali sesegukan, sebab sudah kesekian kali anaknya itu
mengucapkan kata ayah dengan nada teriak dan histeris.
Semenit kemudian, sang dokter menghampiri, menanyakan ada hal apa yang
menyebabkan vira menjerit, hampir terdengar sampai ke ruang kerjanya.
“Saya tidak tahu, dok. Vira sudah kesekian kali menyebut-nyebut ayahnya.”
“Anda tahu di mana ayahnya?” ibu Vira terdiam. Dengan nada serak ia
berusaha menimpali, “Ayahnya sudah lama meninggal dunia, saat usia vira enam
bulan dalam kandungan.”
“Apaaa!?” kaget sang dokter menatap mata ibu Vira.
“Tidak salah lagi, faktor itu yang menjadi penyebabnya. Rasa rindu vira pada
ayahnya yang tak wajar, menyebabkan otaknya luka parah, bahkan sudah stadium
empat.” Sambung sang dokter penuh keyakinan. Ibu vira kembali ambruk.
“Saya sudah ikhlaskan semuanya, dok. Bila kematian adalah pilihan
terbaik untuk anakku, aku akan lapang dada atas Ketentuan-Nya. Kalau boleh
Tuhan izinkan, aku ingin sekali berdiskusi dengan Izrail, agar ia mencabut
nyawa anakku pelan-pelan, dan menitipkan salamku pada Ridwan, agar ia menuntun
anakku menuju surga.” Sang dokter tersenyum, tak sengaja bulir hangat menyeruak
di sela-sela matanya. Sang dokter terharu dengan perkataan wanita yang ada di hadapannya.
Sungguh sosok ibu yang sangat hebat, luar biasa.
“Semoga Allah mendekap harapanmu.” Sang dokter turut mengamini. Ibu vira
tersenyum, ia kembali bersama harapan panjangnya yang melelahkan.
Bersambung…
Insya Allah, lanjut ke episode tiga. Terus pantau ya blog ini… see you…
Tidak ada komentar:
Posting Komentar