"Langit... di manakah kau sembunyikan ayah?"
Angin tengah bersemilir, membelai lembut wajahnya yang tersembunyi. Siluet senja turut menyepuh wajahnya dengan jamahan hangatnya. Sore itu, Vira begitu merasa dimanjakan oleh lukisan alam penjemput jingga, bahkan terkadang merah saga. Itulah mengapa ia ingin seperti senja, dirindukan karena keindahannya, ditangisi sebab kepergiannya.
Anak kecil dengan sang ayah tengah bermain kejar-kejaran di hadapannya. Air lembut di cekungan matanya tak sengaja mengalir, menganak sungai melihat pemandangan tersebut, ada getir cemburu menyelimuti hatinya. Matanya tertegun menatap langit. “Langit, di manakah kau sembunyikan Ayah?”
***
Vira hanyalah anak pinggiran, tepatnya di desa Jadi Mulya, kabupaten Cirebon bersama Ibunya. Ayah Vira telah lama meninggalkan mereka untuk bekerja di suatu tempat yang jauh, ibunya mengabari bahwa sang Ayah sedang mencari sesuatu yang kelak akan membahagiakannya. Di tempat yang paling indah, tak terpikirkan oleh akal manusia, tak terjamah oleh manusia-manusia jahat yang pernah Vira kenal. Vira hanya tersenyum mendengar penuturan ibunya tersebut.
Demi mencukupi kebutuhan sehari-hari, sang Ibu bekerja sebagai guru bahasa inggris di salah satu sekolah terfavorit di kota Cirebon. Sepekan sekali sang ibu pun membuka bimbel bahasa inggris di rumahnya, untuk menambah-nambah penghasilan. Mereka sangat sederhana dan serba kecukupan.
Takdir Illahi berkata lain, di saat Vira menginjak usia sepuluh tahun, dia terkena penyakit distonia, suatu penyakit yang memiliki kelainan gerakan di mana kontraksi otot terjadi terus menerus. Akibatnya postur tubuh menjadi abnormal.
Hal itu bisa dilihat ketika Vira berdiri, sehingga fisiknya akan terlihat melengkung di bagian pinggulnya. Akibat penyakitnya itu Vira sulit untuk melakukan aktivitas. Sekarang, hanya buku diarinya yang menjadi teman akrabnya saat dia sendiri, saat semuanya tampak membosankan, dan saat dunia tak lagi memihak pada keadilan. Termasuk saat rindunya menusuk-nusuk pada sang ayah, dia tulis dalam diari tersebut. Tak peduli sekalipun tulisannya jelek, karena tangan kanannya selalu bergetar ketika dia paksakan untuk menulis. Hanya tangis yang menemani jari lembutnya merangkai kata untuk sang Ayah, dan untuk sang Illahi Rabbi.
Sedangkan ibunya, dia pun tak bisa berbuat apa-apa, penghasilannya tidak cukup untuk biaya berobat anaknya, apalagi harus dioperasi, untuk membeli alatnya saja harus membutuhkan biaya tiga ratus lima puluh juta, uang sebesar itu manamungkin dia dapatkan. Meskipun begitu, sang Ibu tetap menginginkan anaknya sembuh. Setiap hari ia berdoa, semoga Allah turunkan sosok Abdurrahman bin Auf untuk Vira.
Malam hari, Vira mengajak Ibunya untuk melihat bulan dan bintang, ada sesuatu hal yang ingin dia tanyakan di bawah langit malam. Vira seketika terkejut, karena malam itu langit tak bertemankan bulan, dia bertanya pada Ibunya. “Bu… apakah bulan juga seperti Ayah?”
“Maksudmu, nak?”
“Lihat bu! Malam ini, langit hanya bertemankan bintang. Sedangkan bulan, dia kemana, bu?” Telunjuk Vira mengarah pada langit.
“Tidak nak, bulan tidak pergi, hanya saja dia tidak bisa bersinar karena matahari tidak mampu untuk membantunya” jawab sang Ibu sembari menurunkan telunjuk sang anak.
“Huuuh!! Matahari egois! Kalau begitu aku tidak mau lagi jadi matahari, aku tidak mau menjadi egois, bu”
“Matahari tidak egois sayang… hanya saja Allah tidak megizinkan matahari membantu bulan” Vira diam sejenak, dia berusaha mencerna kalimat Ibunya barusan.
“Kalau begitu, aku juga tidak mau menjadi bulan, bulan lemah, dia hanya bisa mengandalkan matahari, dia juga sering menghilang, gimana sih, payah.”
“Kamu salah nak, bulan adalah dewi malam, dia tidak mungkin menghilang, dia sebenarnya masih berada di langit” Vira kembali terpatung, sang Ibu melanjutkan pembicaraannya.
“Matahari akan selalu membantu bulan yang tidak bisa bersinar sendiri pada waktunya, matahari akan selalu membantu bulan yang lemah untuk tetap bersinar, sinar matahari adalah nyawa bulan, tanpa matahari bulan tidak akan bermakna. Begitupun matahari, dia memerlukan bulan untuk menghidupkan sang malam. Bisa kau pahami, sayang?”
Vira lagi-lagi terpatung. “Kalau begitu Ibu adalah matahariku, dan Vira akan berusaha menjadi dewi malammu, Ibu” Seru Vira dengan mata yang berkaca.
“Mengapa bisa begitu, sayang?” tanya sang Ibu.
“Ibu selalu membantuku yang lemah ini untuk tetap bertahan hidup. Kasih sayang Ibu adalah nyawaku, tanpa Ibu aku tidak akan pernah bermakna”
Tiba-tiba air mata sang Ibu menetes, membasahi jilbab biru yang dikenakan Vira. Vira mendongak, “Ibu menangis?” tangannya tak sadar menyela air mata ibunya. Vira memeluk Ibunya, dengan nada lirih dia berujar “Aku Cinta Ibu karena Allah!”
Tangisan ibunya kembali membuncah semakin deras, sesekali ibunya sesegukan menahan sendu. Dengan nada parau, sang ibu menimpali, “Ibu juga cinta kamu karena Allah. Kamu harus kuat, nak, kamu pasti bisa sembuh. Ibu yakin!” Ketika sang Ibu melepaskan pelukan gadis kecilnya, sang Ibu baru tersadar bahwa Vira tak sadarkan diri.
“Anakku… Bangunlah! Bangunlah nak, Ibu mencitaimu karena Allah, jangan tinggalkan Ibu! Viraaaaa... bangun, naaak!!” jerit sang ibu menggoyang-goyang tubuh Vira, tapi Vira tetap dalam bisu. Malam itu, Vira langsung dilarikan ke rumah sakit.
***
Embun menetes, mencumbui rerumputan, kicau burung saling bersahutan. Mentari pun mulai gagah menampakan sinarnya di ufuk timur sana. Manusia mulai berdesak-desak, saling berjibaku dengan segala rutinitasnya. Pagi itu, Ibu Vira lupa, bahwa ia harus pulang, mengambil semua keperluan termasuk pakaian ganti anaknya untuk beberapa hari di rumah sakit. Ketika ia tiba di dalam kamar Vira, ia melihat buku diari anaknya tergolek di atas lantai, ia ambil lantas permukaan awal diari anaknya ia baca…
Ayah!
dapatkah ku lihat setitik peluhmu jatuh
agar ku usap peluhmu dengan cinta
ku basuh dengan air rindu yang bersemayam
adakah kau ingat ayah
saat kita bercanda bersama, menjalin cerita indah bersama ibu…
Di mana kau ayah?
apakah langit menyembunyikanmu?
atau kau sedang membangun istana cinta
di tempat yang pernah ibu ceritakan…
Bila kau benar di sana
izinkan hatiku tertinggal di sana
agar hatiku bisa bercerita banyak
tentang pilunya hati menahan rindu terhadapmu…
Ayah!
dapatkah kau dengar
betapa ibu selalu menangis
setiap kali ku tanyakan di mana dirimu
adakah yang salah dengan pertanyaanku
aku ingin menyusulmu ayah...
Agar semua tahu
betapa muaknya hidup disandera penyakit
seringkali aku intip
ibu selalu menangis dalam do’a panjangnya
untuk sebuah permintaan
aku lekas sembuh dari distonia ini...
Ayah, izinkan kupeluk engkau dalam tangis.
Savira Farah Putri.
Bersambung…
NB: Cerita Bersambung ini saya sadur dari kisah nyata, dan saya dedikasikan khusus untuk Savira Farah Putri, gadis SMP yang berasal dari RT 04 RW 01 Desa Jadimulya Kec. Gunung Jati Kabupaten Cirebon, yang sekarang masih bertarung dengan penyakitnya, penyakit Distonia. Kita berdo’a, semoga Allah segera cabut penyakit ananda Vira, dan Allah sehatkan kembali seperti sedia kala. Syifakillah. :)
Like mas.
BalasHapusDi tunggu certia selanjutnya.
Ada kritikan, mas?
HapusInsya Allah, nanti malem ahad besok...